“Sesungguhnya Alloh telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada
jalan Alloh, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Alloh di dalam Taurat, Injil dan al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Alloh? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 111)
Dalam membangun kepribadian
Kenapa Abu Bakar As-Siddiq ra bisa sehebat itu, hingga seandainya imannya ditimbang dengan iman umat secara umum, maka iman Abu Bakar ra masih lebih berat? Kenapa Umar bin Khottob ra tampil “gagah”, hingga setan pun kabur tak berani menghadangnya? Kenapa Abu Hurairah ra dapat menjadi ilmuwan ter-kemuka mengalahkan sahabat-sahabat yang lebih dulu masuk Islam, padahal ia masuk Islam agak terlambat, yaitu pada tahun ke tujuh Hijriyah dan itu berarti interaksinya dengan Rasululloh saw dan proses “transfer” dari beliau tidak begitu lama? Kenapa Abdullah bin Abbas ra dalam usia relatif muda sudah menjadi “nara sumber” para sahabat yang lebih senior? Kenapa setiap sahabat mampu membentuk dirinya menjadi pribadi utuh dan punya “ciri khas” yang berbeda dari yang lainnya? Padahal guru mereka sama, yaitu Rasulullah saw, dan Islam yang diajarkan beliau kepada mereka juga satu? Barangkali, di antara jawabannya ialah, karena masing-masing dari mereka mam-pu membangun dan membina diri mereka sendiri dengan optimal, meningkatkan kualitas diri menuju tingkatan seideal mungkin, mengadakan perbaikan diri secara konsisten dan kontinyu.
Akhi muslim, dan ukhti muslimah…, di antara curahan karunia Alloh swt kepa-da kita ialah Dia memberi kita nikmat Islam, yang merupakan nikmat paling baik dan agung, serta memilih kita seba-gai kaum muslimin di antara berjuta-juta manusia yang ada. Namun bolehkah kita berhenti berpuas diri hanya sampai di batas ini, cukup hanya sekedar merealisir pelaksanaan-pelaksanaan rutinitas amal-amal Islam saja? Ataukah kita harus menginginkan naik tinggi dari tingkatan ilmu, iman, dan akhlak kita? Jawaban-nya sudah pasti kita harus memiliki cita untuk sampai pada prestasi terbaik di dunia dan juga di akhirat kelak’.
Lantas, siapakah yang diperintahkan untuk meningkatkan kualitas prestasi kita dalam ilmu, iman dan akhlak, sebagai alat untuk meraih ridho-Nya di dunia maupun di ahirat? Apakah orang tua kita? Ataukah teman? Ataukah keluarga? Atau-kah pula media informasi? Ataukah me-mang setiap kita diharuskan untuk memi-liki komitmen dalam membina diri agar memiliki kepribadian yang berprestasi dan berkualitas yang senantiasa berpijak pada nilai keridhoan Alloh swt, baik keti-ka sebagai anak, sebagai suami, sebagai istri, sebagai lelaki dan juga sebagai se-orang perempuan?.
Setiap orang muslim dan muslimah benar-benar dituntut untuk senantiasa berkomitmen dalam membina dirinya sendiri, sebelum diiringi untuk membina suatu kepribadian selain dirinya. Adapun yang dimaksud membangun kepribadian disini adalah upaya seorang muslim atau muslimah untuk menjadikan dirinya se-orang manusia seutuhnya, yaitu manusia yang tunduk kepada aturan Alloh swt dengan tujuan terhindar dari siksa dan neraka-Nya. Alloh swt berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Alloh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At- Tahriim :6)
Syaikh Abdurrahmaan bin Nasir As-Sa’dy rhm, beliau menjelaskan tentang kandungan ayat ini: “Arti menjaga diri dari api neraka, ialah dengan mengerah-kan semua upaya untuk menjaga diri me-lalui penempaan terhadap diri sendiri dalam berkonsekuensi terhadap perintah Alloh swt dan menjauhi larangan-Nya. Selanjutnya memberikan wiqoyah (pen-jagaan ) terhadap keluarga, dengan cara mengajarkan kepada mereka keyakinan terhadap ketuhanan Alloh swt dengan sebenar-benarnya, beribadah sesuai de-ngan sunnah Nabi-Nya saw , berakhlak sesama makhluk dengan baik sesuai syari’at, atau dengan kata lain mengkon-disikan semua anggota keluarga dalam ketaatan kepada Alloh swt dan menjauhi larangan-Nya. Karena sesungguhnya tidaklah seorang dapat meraih keselama-tan sejati kecuali dengan menegakkan perintah Alloh swt dan menjauhi lara-ngan-Nya dalam kehidupan pribadinya sendiri maupun pada setiap pribadi yang ada di bawah tanggung jawabnya.” (Taisir Al-Karimi Al-Rahmaani fii Tafsiri Kalaamil Mannan).
Dari sini kita semua dituntut untuk membina kepribadian, sehingga kita dapat memiliki jiwa pribadi yang tidak merasa cukup serta menganggap telah sempurna dan baik prestasi pengabdian kita kepada Alloh swt. Maka tidak bisa dibenarkan jika ada seseorang yang loyo dalam men-jalani hidup sehari-hari lantaran merasa lelah dan capek setelah banyak melaku-kan sebagian dari jenis ibadah. Ironinya ia justru menganggap dirinya telah begitu banyak melakukan peribadahan, padahal baru sebagian jenis ibadah yang ia ber-sungguh-sungguh melakukannya. Sedang-kan kesungguhan dalam beribadah tidak cukup hanya diupayakan pada satu bagian ibadah semata, melainkan pada keselu-ruhan jenisnya.
Suatu ketika , Ummul mukminin Aisyah rah melihat sekelompok pemuda yang berjalan dengan gontai, lemas, loyo dan bermalas-malasan. Hal itu menanda-kan mereka sangat lemah -mereka adalah sekelompok pemuda yang ahli ibadah, ahli zuhud, dan ahli qana’ah-. Aisyah rah bertanya, “Apa yang terjadi dengan sekelompok pemuda itu?” Ada yang men-jawab, “Para pemuda tersebut adalah orang-orang ahali ibadah, ahli Qana’ah, dan ahli zuhud,” Aisyah berkata, “Demi Alloh yang jiwaku ada dalam gengga-man-Nya, sesungguhnya Umar bin Khattab ra adalah orang yang lebih ba-nyak ibadahya, lebih hebat zuhudnya dan dan lebih takut kepada Alloh dari pada mereka. Namun apabila Umar ra memu-kul, pukulannya menyakitkan. Apabila berbicara pembicaraannya akan dide-ngar. Dan apabila berjalan, maka jalan-nya cepat.”
Wallohu A’lam. Bersambung…
File Gerimis Edisi 9 Th. Ke-1/2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar