SELAMAT DATANG

Selamat Datang di Situs sunankudus.blogspot.com, yang menyajikan Site Bernuansa Islami berisikan Hikmah Al-qur'an dan Mutiara Hadits, insya Allah dapat memberikan kesejukan hati dan ketentraman jiwa bagi anda yang mengunjungi Site ini. Membawa Anda kepada pemahaman Islam yang benar sesuai apa yang di bawa Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. semoga situs ini menjadi sumbangan dalam perjuangan islam. Pesan saya: Ikutilah Jalan Sirotulmustaqim dengan sungguh-sungguh. karena jalan otulah yag termudah menuju Allah dan syurga-Nya. Kurang dan lebihnya blog ini maafin yaa..saran dan kritik bisa kamu kirim ke santrisunny@yahoo.co.id. sukron katsiron telah mampir ke blog ini.. yang mau kirim tulisan silahkan email ke santrisunny@yahoo.co.id

Selasa, 18 November 2008

REALITA DA`WAH Di INDONESIA



Realita da`wah luas sekali, pada pasal ini kita akan membahas dari segi sunniyyah da`wah dan jama’iyyahnya. Kedua unsur utama ini pada periode da`wah sekarang ini berada di antara tiada dan wujud yang lemah. Di banyak upaya da`wah kedua unsur tersebut tidak bertemu, dalam arti ada usaha-usaha yang mempunyai salah satu unsur tetapi tidak mempunyai unsur yang lainnya, di waktu yang sama unsur yang adapun kebanyakan berada dalam kadar yang rendah. Ada juga upaya yang mempunyai kedua unsur tersebut tetapi dalam kadar yang lemah sekali.

Kerendahan kadar dalam kedua unsur biasanya terjadi pada syumuliyyah, baik ilmiyah atau amaliyah yang mencakup tujuan dan lapangan da`wah dan terjadi pula pada segi mutu. Untuk lebih jelasnya mari kita bersama menelaah realita ini sebatas yang diperlukan untuk memperjelas pandangan.

  1. Adanya sunniyyah tanpa jama’iyyah.

Dalam macam usaha-usaha seperti ini kita dapati adanya sunniyyah dari segi isi da`wah walaupun kadarnya masih jauh lebih rendah dari sunnah yang sempurna. Kerendahan kadar ini bisa dimaklumi, karena Indonesia memang masih belum mempunyai ulama-ulama sunnah dan lembaga-lembaga pendidikan sunnah yang mapan, baik dari segi kwalitas maupun kwantitas.

Tetapi yang menjadi problem adalah ketidak sadaran sebagian para pelaku da`wah (da’i) tentang hal itu, sehingga merasa bahwa yang mereka miliki dan da`wahkan adalah sunnah yang sempurna. Dengan sendirinya, karena ketidak-sadaran itu di waktu yang sama langkah-langkah menuju kesempurnaanpun menjadi lemah sekali. Kita katakan tadi bahwa sunniyyah yang ada adalah dari segi isi, sedangkan dari segi tujuan yang syamil bisa dikatakan hampir tidak ada.

Walau ada semacam kerjasama di antara para da’i (terkadang), tetapi itu belum sampai pada tarap amal jama’i. Yang menjadi penghalang jama’iyyah mereka bermacam-macam, walau pun semua dari mereka menyadari bahwa musuh-musuh Islam bersatu padu dan berjama’ah dalam memusuhi Islam, hal itu sudah bukan rahasia lagi. Di antara sebab-sebab utama terhalangnya amal jama’i adalah:

  1. Cinta kepemimpinan

Hal ini mencegah persatuan di antara banyak tokoh ahli dunia yang masing-masing ingin menguasai pengikut-pengikutnya. Ketika kita mempunyai husnuzhan (baik sangka) yang besar terhadap para da’i, maka kita harap hal seperti itu hanya sedikit saja terjadi di antara mereka. Tetapi walau pun sedikit, hal ini pasti ada, karena memang merupakan suatu sifat manusia. Sudah barang tentu sang tokoh tidak akan mengakui hal ini, dari itu alasan (penolakan untuk beramal jama`i) yang dikemukakan adalah alasan syar’i yang dipaksa-paksakan.

  1. Su’uzhan (buruk sangka) antar Tokoh Da`wah

Su’uzhan inipun bisa menjadi garis pemecah yang besar sekali dan pada kenyataannya perang mulut antar banyak da’i telah kita saksikan.

  1. Tujuan Da`wah yang tidak syamil

Ketika para pelaku da`wah masih belum mengerti besarnya tujuan da`wah dan besarnya tantangan da`wah yang ada dari pihak musuh-musuh Islam, maka dengan sendirinya mereka tidak akan menyadari betapa pentingnya amal jama’i yang kuat.

Ketidak sadaran mereka tentang syumuliyyah (kesempurnaan) tujuan da`wah jelas sekali terlihat dari cara mereka menangani operasionil dakwah mereka sendiri. Usaha-usaha mereka tidak mengarah kepada penyusunan barisan pembela da`wah sama sekali, di waktu musuh-musuh Islam terus menerus menyusun barisan untuk memusuhi Islam. Mereka seakan tidak menyadari bahwa musuh-musuh sunnah berada di sekeliling mereka serta mereka seakan-akan berada dalam suatu sistem masyarakat Islami.

  1. Syubhat (kejahilan)

Sebab yang keempat ini kita sebut sebagai syubhat, karena kita tidak dapati kata-kata lain yang lebih dekat kepada hal-hal yang akan kita paparkan berikut ini:

    1. Menjauhi amal jama’i karena “Mengira” bahwa arti dari “hizbiyyah1 yang banyak dikecam para ulama adalah amal jama’i. Perkiraan seperti ini tidak bisa ditafsirkan selain syubhat atau kejahilan. Arti hizbiyyah yang dicela para ulama adalah pemihakan pada suatu pihak bukan karena kebenaran pihak tersebut, tetapi karena dorongan-dorongan hawa nafsu dan kecondongan jiwa manusiawi. Jadi jelas sekali amal jama’i bukanlah hizbiyyah, amal jama’i adalah bentuk dari suatu amal sedang hizbiyyah adalah suatu sikap.

    2. Sekelompok dari para pemuda dan da’i mengerti arti dari hizbiyyah yang sebenanya, tetapi mereka beranggapan bahwa hizbiyyah adalah suatu hal yang pasti terjadi dalam amal jama’i, oleh karena itu mereka menjauhi amal jama’i dengan harapan bisa selamat dari hizbiyyah. Mari kita coba bersama menguji pemikiran mereka.

Kepastian akan timbulnya hizbiyyah pada amal jama’i memerlukan adanya dalil syar’i atau hissi. Pada kenyataannya tidak ada di antara mereka yang sanggup mengemukakan dalil syar’i dalam hal ini. Sedangkan dalil hissi yaitu dalil dari kenyataan tidak ada pembuktian kepastian timbulnya hizbiyyah pada setiap amal jama’i.

Hizbiyyah adalah suatu hal pengikutan hawa nafsu dalam berpihak, hal ini bisa saja terjadi pada amal jama’i, pada kehidupan bermarga dan berkeluarga, bermasyarakat, bernegara, bermazhab, berkawan atau bersaudara dan lain-lainnya.

Tidak seharusnya kita meninggalkan semua tata kehidupan tersebut karena takut terkena hizbiyyah. Hizbiyyah adalah suatu kesalahan dan kesalahan adalah sekutu manusia. Setiap manusia akan salah. Tidak berarti demi menjauhi kesalahan kita harus berhenti menjadi manusia.

Di dalam setiap peribadatan bisa timbul riya’. Meninggalkan suatu peribadatan karena takut riya adalah suatu kesalahan yang fatal, seperti misalnya meninggalkan sholat jama’ah karena takut riya.2 Meninggalkan hizbiyyah adalah taklif dari Alloh Subhanahu wa Ta`ala dan Alloh Subhanahu wa Ta`ala tidak membebankan manusia lebih dari kemampuannya.

Hizbiyyah bisa saja terjadi pada amal jama’i dan pada selain amal jama’i. Tugas kita adalah harus terus mengikis kesalahan-kesalahan kita baik hizbiyyah ataupun yang lainnya, bukan malah menambah kesalahan dengan meninggalkan amal jama’i.

Meninggalkan suatu amal sholeh karena takut atau kuatir terkena fitnah adalah perbuatan orang jahil atau munafiq. Hal ini terjadi pada zaman Rosululloh Shallallohu `Alaihi wa Sallam ketika beliau mengajak seorang pemuka masyarakat yang ternyata munafik untuk berjihad melawan Rum. Maka munafik itu pun menolak dengan alasan takut terfitnah oleh kecantikan gadis-gadis Rum. Penolakan ini disebut oleh Alloh Subhanahu wa Ta`ala sebagai “jatuh ke dalam fitnah”, sebagaimana firman-Nya:


Di antara mereka ada yang berkata: ”Berilah saya izin (untuk tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus ke dalam fitnah”. Ketahuilah bahwa mereka telah terjerumus dalam fitnah. Dan sesungguhnya Jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang kafir”. (QS. At Taubah(9): 49)

Ada pula yang mengakui pentingnya amal jama’i tetapi mereka mengatakan aqidah harus didahulukan sebelum hakimiyah dan tanzhim (organisasi). Perkataan seperti ini biasanya dilontarkan tanpa pemikiran yang matang. Hakimiyah adalah bagian yang besar sekali dari aqidah. Sedangkan tanzhim atau jama’iyyahnya da`wah adalah sarana dan bukan aqidah yang keduanya tidak berada dalam satu jalur sampai bisa dan harus dikedepankan atau dikebelakangkan. untuk menyiarkan Aqidah itulah dibentuk tanzhim.

Di antara yang berpandangan negatif terhadap amal jama’i bersandar-kan pada khabar-khabar yang belum pasti, bahwa ada sebagian ulama yang tidak menyetujuinya atau sebagian besar ulama tidak melakukanya bahkan terkadang (dan ini kebanyakan) hanya bersandarkan pada fatwa-fatwa beberapa da’i (yang secara tidak sadar mereka anggap sebagai ulama-ulama besar).

Kita adalah Ahlus sunnah wal jama’ah bukan Ahlul bid’ah! dari itu sumber agama kita adalah Al-Qur’an, As-sunnah dan Ijma’ sahabat bukan lain-lainnya. Siapa saja, ulama mana saja yang berfatwa demikian? Berapa orang mereka? apa di dunia Islam cuma mereka saja yang ada sehingga fatwa mereka menjadi ijma’ dan hujjah? lagi pula pada kenyataannya tidak ada ulama yang berfatwa demikian secara umum sama sekali. Kalau pun ada, hanya terbatas pada buku-buku beberapa penulis (yang kita belum tahu tentang tingkat ilmunya) yang menyatakan pendapat mereka bahwa di negeri tertentu (tempat tinggal si penulis) tidaklah syar’i membentuk jama’ah tanpa izin imam mereka. Alasan si penulis adalah karena imam di negeri itu adalah imam syar’i yang menerapkan syari’ah.

Apakah pendapat seperti ini hujjah atas setiap umat dan di semua tem-pat? Demikiankah manhaj Ahlus sunnah ? Kalau pun ada ijtihad seorang alim yang mementahkan syar’iyyah amal jama’i, apakah ijtihad seorang alim saja bisa kita jadikan sumber untuk agama atas setiap umat?

Masalah agama adalah masalah yang tegas dan bukan permainan. Barangsiapa yang ingin menentang sesuatu secara syar’i, harus mengemu-kakan dalilnya, betapa pun tinggi ilmunya, kecuali Rosululloh Shallallohu `alaihi wa sallam.

  1. Adanya jama’iyyah tanpa sunniyyah

Di medan da`wah kita dapati kebanyakan orang menyadari pentingnya amal jama’i, maka terbentuklah banyak kelompok-kelompok atau jama’ah-jama’ah da`wah.

Sebenarnya wadah perjuangan terbaik dan terideal untuk umat ini adalah khilafah Islamiyah. Ketika khilafah Islamiyah belum memungkinkan untuk terbentuk, maka wadah yang berbentuk lebih dari satu negara Islam pun bisa diterima. Ketika pembentukan negara Islam masih terhalang, maka wadah terbaik adalah satu jama’ah untuk seluruh umat di bawah satu pim-pinan. Ketika bentuk seperti ini pun belum bisa diwujudkan, maka adanya beberapa jama’ah sebagai wadah-wadah perjuangan harus diterima sambil terus mengusahakan kerjasama dan saling tolong-menolong sampai cita-cita umat bisa tercapai. 3

Kembali kepada jama’ah-jama’ah da`wah yang ada di lapangan dewasa ini, selama mereka berda`wah kepada manhaj Ahlus sunnah wal jama’ah maka wujud mereka adalah syar’i. Adapun tentang tidak bersatunya mere-ka, perlu kita sadari bahwa persatuan antar jama’ah bukanlah syarat wujud, tetapi syarat kesempurnaan. Hal ini berarti, kalau syarat ini tidak ada maka wujud mereka tetap syar’i, tetapi kesempurnaan belum tercapai. Tetapi yang benar-benar membingungkan dan mengecewakan di tengah-tengah hasil yang menggembirakan adalah kebanyakan jama’ah-jama’ah yang kita ketahui, tidak menda`wahkan manhaj Ahlussunnah wal jama’ah.

Jadi manhaj apa yang mereka da`wahkan? Di antara mereka ada jama-’ah-jama’ah yang menda`wahkan manhaj-manhaj yang tidak menentu. Setiap jama’ah dari jama’ah-jama’ah tersebut bukan dipersatukan oleh manhaj tertentu dalam meniti dan menda`wahkan Islam. Tetapi mereka dipersatukan oleh kesatuan tujuan dan kesatuan selera. Sedangkan dalam hal-hal yang asasi dan mendasar seperti aqidah, sesama anggota pun tidak ada persepsi yang sama, apalagi menda`wahkannya kepada umat ini.

Benar, mereka pun menda`wahkan aqidah tetapi sebatas apa-apa yang disepakati firqoh-firqoh Islam atau setiap anggota mendakwahkan aqidah-nya masing-masing. Dengan demikian agama Islam tidak dida`wahkan secara sempurna, tetapi dida`wahkan setelah dipreteli bagian-bagian yang penting. Pemeretelan ini bukan tidak beralasan. Tujuan dari pemeretelan ini adalah untuk menjaga persatuan jama’ah yang memang memerlukan persatuan untuk mencapai tujuannya.

Keliru! Pemeretelan Islam tidak akan membantu dalam mencapai tuju-an, bahkan sebaliknya. Persatuan memang sangat dibutuhkan dalam menca-pai tujuan, tetapi persatuan yang bagaimana yang diperlukan? Persatuan yang diperlukan adalah persatuan diatas manhaj Robbani, manhaj yang benar, manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Berkumpul di atas satu manhaj bid’ah bukanlah persatuan, tetapi furqoh namanya. Sedangkan berkumpul di atas manhaj yang berbeda-beda, lebih hebat lagi, yaitu furqohnya furqoh. Sebab di dalam perkumpulan yang pertama bisa terjadi persatuan barisan, walaupun berfurqoh dari manhaj Firqotun Najiyah. Sedangkan yang kedua tidak akan ada persatuan yang hakiki baik dalam barisan maupun manhaj.

Kapankah firqoh najiah boleh berbaur dengan firqoh-firqoh lainnya? Hal ini boleh terjadi ketika kendali pimpinan sepenuhnya di tangan Ahlussun-nah. Itu pun bukan pembauran! Hubungan kedua belah pihak adalah hu-bungan atas dan bawah bukan hubungan setara. Hubungan ketika Ahlus sunnah sebagai penguasa, ketika itu ahli bid’ah tidak akan diberi kesempa-tan untuk menebar racun-racun mereka dengan leluasa. Keadaan lainnya yang memungkinkan kebersamaan dengan firqoh-firqoh itu adalah ketika terjadinya konfrontasi dengan orang-orang kafir yang ingin mendongkel Islam dari akar-akarnya dalam suatu pertempuran mempertahankan wujud Islami. Ketika yang terakhir itu terjadi, Ahlus sunnah harus tetap memper-tahankan dan memperkuat barisannya itu sendiri serta menda`wahkan manhaj mereka.

Pemeretelan tidak dibolehkan sama sekali walaupun ta’awun dengan firqoh dalam kondisi darurat seperti itu dilakukan. Dalam kondisi kita sekarang ini tidak ada suatu keterpaksaan apa pun untuk membentuk jama’ah da`wah yang di dalamnya bercokol orang-orang dari luar Ahlus Sunnah wal jama’ah.

Rosululloh Shallallohu `alaihi wa Sallam bersabda:

قَالَ تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ

Berpegang teguhlah engkau pada jama’atul muslimin serta kepada imam mereka, aku berkata (Khudzaifah Bin Yaman): Apabila mereka tidak punya jama’ah dan imam? Beliau berkata: Jauhilah golongan-golongan itu (Firoq dhollah) semuanya walaupun engkau harus bergantung kepada pokok pohon hingga maut menjemputmu dan engkau dalam keadaan yang demikian.” (HR. Bukhori, no.6557; Muslim, no.3434; Abu Daud, no.3706, Ibnu Majah, no.3969; dan Imam Ahmad, no.22195)

Ketika suatu jama’ah da`wah sunnah sedang melawan bahaya kristeni-sasi di suatu wilayah misalnya, boleh saja bekerja sama dengan seorang bid’i di daerah itu kalau diperlukan dengan syarat tetap menda`wahkan mereka ke sunnah selama hal itu mungkin.

Kekurang tepatan dalam mengenal tujuan dan manhaj da`wah, banyak mempengaruhi kecondongan pemeretelan tersebut. Seperti contohnya suatu jama’ah yang banyak mempunyai anggota yang tersebar di seluruh Indonesia, bahkan hampir di seluruh masyarakat dunia Islam dan bertu-juan operasionil mendirikan negara Islam. Demi mencapai tujuan ini maka persatuan diprioritaskan lebih dari manhaj yang benar. Di dalam jama’ah ini bercampur baur antara Ahlus sunnah dan ahlul bid’ah, sejak dari jenjang struktur yang terendah sampai jenjang struktur yang tertinggi.

Penyimpangan manhaj dalam jalan da`wah mereka tidak bisa dihitung banyaknya. Kita ingin bertanya, kalau tujuan mereka tercapai dan negara pun berdiri, dengan manhaj apakah rakyat itu akan dididik? Di atas manhaj apakah negara itu akan berdiri? yang manakah yang sebenarnya harus didi-rikan, manhaj yang benar yang di dalamnya termasuk negara, ataukah negara dengan manhaj campur aduk?

Suatu jama’ah lainnya yang juga tersebar di seantero dunia ini, sama sekali tidak menghiraukan di atas manhaj apa mereka berjalan dan manhaj mana yang mereka da`wahkan. Mereka mempunyai manhaj sendiri yang juga campur aduk. Penafsiran Laa Ilaaha illalloh pada mereka hanya sebatas pengertian tauhid rububiyah. Prinsip amar ma’ruf nahi munkar dikoyak-koyak. Kejahilan menjadi salah satu sifat resmi mayoritas anggota mereka, tanpa ada usaha serius sedikit pun untuk mempertinggi ilmu syar’i para anggota. Da`wah mereka sangat terbatas pada beberapa bagian agama Islam saja, yang kebanyakan tidak berbeda dengan agama-agama lainnya.

Apa yang bisa diharapkan dari jama’ah yang seperti ini dalam menegak-kan manhaj Alloh Subhanahu wa Ta`ala dan hak-hak uluhiyyah-Nya di bumi ini? Di sisi lain keberhasilan mereka dalam merekrut anggota sering sekali merupakan isolasi bagi sang anggota dari pengaruh manhaj yang benar atas dirinya.

Masih ada lagi jama’ah yang lebih “revolusioner” dalam menjauhkan dirinya dari manhaj Ahlus sunnah wal jama’ah. Jama’ah yang satu ini se-lalu menggembor-gemborkan pendirian khilafah Islamiyyah dan merujuk pada kitab dan hadits. tetapi tidak sekali-kali mengakui ketundukan mereka kepada pemahaman sahabat. Yang lebih berani lagi adalah penolakan mereka secara terang-terangan terhadap hadits ahad dalam aqidah, sekali pun hadits itu shohih. Dengan demikian runtuhlah banyak sekali bagian-bagian aqidah. Tidak merujuknya mereka kepada pemahaman salafus shaleh, melahirkan penyimpangan-penyimpangan di dalam manhaj mereka, sebab pemahaman shalafus shaleh-lah yang diakui oleh Alloh Subhanahu wa Ta`ala dan Rosul-Nya.

Pada manhaj Ahlus sunnah, hadits ahad disaring dengan penyaringan khusus oleh ulama salaf sampai ditentukan yang shohih dan yang tidak shohih. Lantas yang shohih diterima sebagai dalil untuk semua masalah, ter-masuk aqidah, sedangkan yang tidak shohih ditolak. Kebanyakan masalah-masalah aqidah di sunnah nabawiyyah didapatkan melalui hadits-hadits ahad. Kita sebagai pengikut Rosululloh dan salaf menerima apa-apa yang mereka terima tanpa ragu-ragu dan was-was. Sedangkan ahlul bida’ meno-lak hadits-hadits ahad dengan alasan hadits-hadits tersebut ”Zhonni” (masih dalam tarap sangkaan) dan bukan qot’i (pasti). Hadits ahad di sisi mereka tidak diterima untuk masalah-masalah aqidah yang harus didasar-kan oleh keyakinan.

Menurut manhaj Ahlus sunnah, setelah hadits ahad disaring dengan syarat-syaratnya yang ketat dan dinyatakan shohih maka hadist itu telah bersifat yakin. Bagaimana manhaj Al Qur’an, sunnah dan salafus shaleh? Alloh mengirim rosulnya sendiri-sendiri (ahad) dan khabar mereka harus diterima. Rosululloh mengirim utusannya ke daerah-daerah, kebanyakan utusan itu sendiri-sendiri (ahad) dan khabar yang mereka sampaikan men-jadi hujjah atas orang-orang yang menerima khabar-khabar tersebut, seper-ti halnya pengiriman Mu’adz Bin Jabal ke Yaman.

Adapun Salafus Saleh dari tiga generasi (sahabat, tabi’in, tabi`it tabi’in) semua mereka menerima hadits shohih walau pun ahad sebagai dalil untuk semua masalah termasuk aqidah. Demikian halnya para imam yang empat: Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad Bin Hanbal serta Bukhori, Muslim dan semua imam hadits serta ulama-ulama yang mengi-kuti jejak-jejak mereka. Setelah lima abad berlalu, muncullah manhaj bid’ah yang berdasarkan atas filsafat dan ilmu kalam, menolak hadist ahad pada masalah-masalah aqidah.

Jama’ah ini mengklaim diri mereka sebagai Hizbus siyasi (parpol) dan bukan jama’ah da`wah dan ta’lim. Sedangkan Rosululloh diutus sebagai da’i, muallim dan mujahid.4

Bagaimana jama’ah seperti ini bisa diharapkan untuk menegakkan manhaj Robbani di bumi ini? Nah, jama’ah-jama’ah yang kita sebutkan tadi adalah jama’ah-jama’ah non formal. Tentunya masih banyak lagi jama’ah-jama’ah lain yang bergerak di lapangan dari yang kecil sampai yang besar, baik formal maupun non formal.

Bagaimanapun besarnya kesalahan-kesalahan yang ada pada mereka, tetap saja masing-masing mempunyai kebaikan. Akan tetapi kebaikan-kebaikan itu tidak bisa dijadikan ukuran kebenaran manhaj mereka. Kebe-naran manhaj hanya bisa diukur dengan pertanyaan apakah mereka komit-men dengan manhaj Ahlus sunnah dalam hal tujuan, isi da`wah dan jalan-jalan da`wah itu sendiri? Ada kelompok-kelompok atau personal-personal yang isi da`wahnya banyak parsial (Tidak syamil) tetapi masing-masing memang menurut kemampuannya. Tetapi kebanyakan mereka tujuan da`wahnya masih kabur dan belum tuntas gambarannya. Sedang-kan kelompok-kelompok sempalan yang memang sudah keluar dari Islam walaupun memakai nama Islam, kita menganggap mereka sebagai musuh-musuh Islam.

1 حزبية “Hizbiyyah” berasal dari kata حزب dan ي nisbah (yang artinya adalah الصلة / hubungan dan القرابة / kedekatan). Berarti Hizbiyyah adalah hubungan dan kedekatan pada hizb, sedangkan hizb adalah الجماعة فيها غلظة organisasi atau jama`ah yang memiliki kekuatan. Di dalam Al Qur`an Hizb digolongkan menjadi dua kelompok : yaitu hizbulloh (organisasi atau jama`ah yang berjuang di jalan Alloh) dan Hizbusy Syaithon (organisasi atau jama`ah yang berjuang di jalan syaithon). Jadi Hizbiyyah memiliki dua keadaan apakah kedekatan dan hubungan kepada Hizbulloh atau kedekatan dan hubungan kepada hizbusy syaithon. Jadi kedua keadaan itu memiliki hukum yang berbeda, jika hizbiyyah kepada hizbulloh, tentu hukumnya bisa berarti wajib. Sedangkan jika hizbiyyah kepada hizbusy syaithon, maka pasti hukumnya haram atau kufri. (Baca Kitab Al Mu’jam al Wasith. Dan kitab Fi Ma Kuntum Hizballoh Aw Hizbasy Syaithon, Abdul Hadi Al MisHRi)

2 Imam Ahmad Al Maqdisi berkata :

وَكَذَلِكَ إِذَا تَرَكَ الْعَمَلَ خَوْفًا مِنْ أَنْ يُقَالَ إِنَّهُ مُرَاءٍ فَلاَ يَنْبَغِيْ ذَلِكَ لأَنَّهُ مِنْ مَكَائِدِ الشَّيْطَانْ

Jika dia meninggalkan amal karena takut dikatakan riya, maka hal itu tidaklah layak dia tinggalkan, karena itu (meninggalkan amal karena takut dikatakan riya’) bagian dari tipu daya syaithon”. (Mukhatshor Minhaj Al Qoshidin : 245)

3 Dalam satu qaedah dinyatakan :

مَالاَ يُدْرَكُ كُلُّهُ لاَ يُتْرَكُ كُلُّهُ

Sesuatu yang tidak dapat diraih secara menyeluruh tidak harus ditinggalkan seluruhnya’.

4 Baca QS. 33 : 46

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BERITA TERKINI

Rabu sore kemarin (02/12), otoritas penjajah Zionis memberikan surat resmi kepada Kepala Badan Tertinggi Islam di Al-Quds, yang isinya melarang khatib masjid Al-Aqsha Syekh Ikrimah Shabri untuk masuk masjid Al-Aqsha selama 6 bulan ke depan.

Ketika Syekh Shabri baru saja pulang dari Saudi kemarin, otoritas Zionis langsung memanggilnya untuk diinterogasi. Karena kelelahan sebab baru saja pulang dari perjalanan jauh, Syekh Shabri sempat meminta pengacarnya Khalid Zabariqah untuk mengundur waktu ke hari lain untuk memenuhi panggilan Zionis itu.

Akan tetapi Zionis menolak untuk menunda dan mengancam akan menangkap Syekh Shabri jika tidak segera memenuhi panggilan otoritas Zionis. Oleh karena itu, Syekh Shabri terpaksa segera menuju ruang intelijen No. 4 yang berada di pusat penahanan dan penyelidikan "Compound" sebelah Barat Al-Quds, untuk menerima keputusan pelarangannya memasuki masjid Al-Aqsha.

Sebelumnya beberapa hari yang lalu, otoritas penjajah Zionis juga mengeluarkan beberapa keputusan yang menjauhkan hak pribadi, nasional, agama, dan lembaga-lembaga dari masjid Al-Aqsha. (Sn/ikh/myj)

eramuslim.com