SELAMAT DATANG

Selamat Datang di Situs sunankudus.blogspot.com, yang menyajikan Site Bernuansa Islami berisikan Hikmah Al-qur'an dan Mutiara Hadits, insya Allah dapat memberikan kesejukan hati dan ketentraman jiwa bagi anda yang mengunjungi Site ini. Membawa Anda kepada pemahaman Islam yang benar sesuai apa yang di bawa Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. semoga situs ini menjadi sumbangan dalam perjuangan islam. Pesan saya: Ikutilah Jalan Sirotulmustaqim dengan sungguh-sungguh. karena jalan otulah yag termudah menuju Allah dan syurga-Nya. Kurang dan lebihnya blog ini maafin yaa..saran dan kritik bisa kamu kirim ke santrisunny@yahoo.co.id. sukron katsiron telah mampir ke blog ini.. yang mau kirim tulisan silahkan email ke santrisunny@yahoo.co.id

Kamis, 30 Oktober 2008

Pembatal-pembatal Islam

Ketika seseorang dilahirkan dalam keluarga muslim, maka dengan sen-dirinya ia pun menjadi muslim, atau masuk Islam dengan bersaksi ter-hadap dua kalimat syahadat. Tetapi pintu-pintu murtad (keluar dari Islam) banyak sekali. Di antaranya ada sepuluh pembatal atau penggu-gur Islam yang diijma’kan oleh para ulama Islam. Sehingga apabila se-seorang telah mengerjakan salah satunya, maka ia akan keluar dari Islam.

-Pembatal atau penggugur Islam pertama adalah syirik.
Pembahasan detail tentang syirik telah dijelaskan pada point-point yang telah lalu. Tetapi di sini kita akan menyebutkan beberapa macam syirik yang banyak dikerjakan oleh orang-orang yang mengaku beriman.
Di antaranya berdoa dan meminta permohonan kepada suatu zat lain selain Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– dalam hal-hal yang menjadi kekhususan-Nya. Yaitu hal-hal yang hanya Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– saja yang dapat mem-berikannya, seperti meminta anak, jodoh, rezeki, kenaikan pangkat dan lain sebagainya.

Perbuatan syirik lainnya adalah memuja dan mengagungkan benda-benda tertentu, seperti peninggalan-peninggalan leluhur atau benda-benda yang dianggap keramat dan mendatangi para kahin (dukun, tukang sihir, paranor-mal) untuk meminta atau menanyakan sesuatu lantas mempercayainya, se-muanya termasuk perbuatan syirik akbar.
Termasuk pula memberikan kurban kepada selain Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–, baik dengan memotong binatang hidup, ataupun hanya dengan me-mecahkan telur di kaki seseorang, atau di tempat lainnya dengan tujuan men-dapat berkah atau kesembuhan dari makkluk-makhluk ghaib.

Di antara bentuk perbuatan syirik modern adalah memberikan hak kepada makhluk-makhluk Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– untuk membuat syari’at atau undang-undang yang menandingi hukum-hukum Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–, atau kadang-kadang undang-undang tersebut menjadi pengganti hukum-Nya. Letak kesyirikannya adalah dijadikannya makhluk-makhluk itu sejajar dengan Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– dalam hal hukum, atau malah lebih tinggi dari-Nya, karena hukum-hukum mereka lebih diutamakan daripada hukum-hukum Allah–Subhānahu wa Ta’ālā–, atau hukum-hukum mereka dijadikan pengganti bagi hukum-hukum-Nya, sedang hukum-hukum-Nya malahan dibuang jauh-jauh dari kehidupan umat.
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni jika Dia dipersekutukan dengan sesuatu dan akan mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa yang menyekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa besar.” QS. an-Nisaa’ (4): 48]

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan Allah, maka pasti Allah meng-haramkan kepadanya syurga dan tempat tinggalnya ialah neraka, dan tidak-lah bagi orang-orang dzalim itu seorang penolong pun.” QS. al-Maaidah (5): 72

-Pembatal Islam kedua adalah mengambil seseorang atau sesuatu seba-gai perantara dalam berdoa atau beribadah kepada Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–।

Mereka yang melakukan hal ini mengatakan bahwa doa dan permintaan mereka pada lahirnya ditujukan kepada selain Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–, baik kuburan atau lainnya, tetapi pada hakikatnya tertuju kepada-Nya, se-dangkan yang selain Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–hanyalah sebagai perantara saja, seperti halnya seseorang yang meminta sesuatu kepada seorang raja melalui menterinya।

Dalam Islam, alasan atau logika seperti ini tidak dibenarkan dan termasuk dalam perbuatan syirik akbar, seperti yang dikerjakan oleh kaum musyrikin Quraisy di zaman Rasulullah –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama–.

أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ

“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” QS. az-Zumar (39): 3
قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِهِ فَلا يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنْكُمْ وَلا تَحْوِيلا
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
“Katakanlah: Serulah mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya dari padamu dan tidak pula memindahkannya. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan adzab-Nya. Sesungguhnya adzab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” QS. al-Israa’ (17): 56-57
-Pembatal Islam ketiga adalah tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, atau meragukan kekafiran mereka, atau membenarkan agama mereka.
Seperti halnya orang-orang yang menganggap bahwa orang-orang Nash-rani, Yahudi, Budha dan pemeluk agama lainnya adalah orang-orang yang beriman dan berada di atas jalan yang benar.
Demikian pula halnya dengan menganggap orang-orang murtad yang telah pasti kemurtadannya sebagai orang-orang mu`min.

أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ وَمَنْ يَلْعَنِ اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ نَصِيرًا

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari al-Kitab Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman. Mereka itulah orang yang dikutuki Allah. Barangsiapa yang dikutuki Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan mem-peroleh penolong baginya.” [QS. an-Nisaa’ (4): 52]

-Pembatal Islam keempat adalah kepercayaan bahwa ada ajaran lain yang lebih benar dan sempurna dari ajaran Nabi Muhammad –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama–, atau ada hukum-hukum yang lebih baik dari hukum-hukum beliau –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama–.

Seperti orang-orang yang lebih menyukai hukum-hukum thaghut dari pada hukum-hukum Nabi –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama–, atau menganggap hukum Islam sudah tidak cocok lagi, atau menganggap hukum Islam adalah sebab dari kemunduran kaum muslimin pada masa kini, atau menganggap agama Islam hanya cocok untuk mengatur hubungan antara pribadi-pribadi dengan Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–.

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالا بَعِيدًا

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang ditu-runkan sebelum kamu Mereka hendak berhakim kepada thoghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesat-kan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” [QS. an-Nisaa’ (4): 60]

- Pembatal Islam kelima adalah membenci sesuatu dari apa-apa yang diajarkan Rasulullah –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama–, walaupun me-ngerjakannya.

ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ

“Hal itu dikarenakan mereka (orang-orang kafir) benci terhadap apa-apa yang diturunkan Allah, maka hancurlah amal-amal mereka itu.” QS. Muhammad (47): 9

-Pembatal Islam keenam adalah menghina suatu ajaran dari agama Islam.

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ
لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
“Kalau engkau tanyakan mengapa mereka berbuat yang demikian, mereka akan berkata: Sebenarnya kami hanya berolok-olok dan bermain-main saja. Kata-kanlah: patutkah kalian memperolok-olok Allah dan ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya? Tidak usah kalian minta maaf, karena kalian telah kafir sesudah beriman.” QS. at-Taubah (9): 65-66

bersambung...

Penjelasan Tentang Nifaq/Munafiq

Nifaq ada dua macam, yaitu:
1) Nifaq I’tiqadiy;
Pada umumnya, nifaq itiqadiy adalah nifaq akbar, yaitu bersemayam-nya kekufuran di hati seseorang, baik karena adanya pendustaan, ataupun karena tidak adanya ketundukan (perbuatan) hati, tetapi secara zhahir (lisan dan perbuatan), sang munafiq menampakkan keimanan. Orang se-perti ini tetap diperlakukan sebagai seorang muslim, sampai kekufuran yang ada di hatinya diwujudkan dalam bentuk kekufuran lisan atau per-buatan. Apabila hal ini terjadi, maka orang tersebut diperlakukan sebagai seorang murtad.

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang berkata kami beriman pada Allah dan hari akhir sedangkan mereka bukanlah orang-orang mu’min.” QS. al-Baqarah (2):8

2) Nifaq ‘Amaliy;

Pada umumnya nifaq ‘amaliy adalah nifaq asghar, yaitu ketika seseorang hanya mengerjakan beberapa sifat dan amal perbuatan orang munafiq. Tetapi apabila semua amal perbuatan dan sifat-sifat orang munafiq diker-jakan, maka orang itu pun terjatuh kepada nifaq akbar, yaitu akan menjadi munafiq murni.

وَمِنْهُمْ مَنْ عَاهَدَ اللَّهَ لَئِنْ آتَانَا مِنْ فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ الصَّالِحِينَ

“Dan di antara mereka ada yang berjanji pada Allah, apabila datang pada kami karunia-Nya, tentu kami akan bersedekah serta kami akan menjadi orang-orang shaleh. Maka tatkala datang pada mereka karunia-Nya, lalu mereka berbuat bakhil dan berpaling, maka Allah menjadikan kenifakan di hati-hati mereka sampai hari mereka menemui Allah dikarenakan pengingkaran janji mereka terhadap Allah dan dengan sebab kedustaan-kedustaan mereka.” QS. at-Tau-bah(9): 75-77

أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا، وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا، إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ تَابَ

“Ada empat perkara yang bilamana hal tersebut terkumpul pada diri seseorang, maka ia adalah seorang munafiq murni. Dan barangsiapa yang ada pada diri-nya satu bagian darinya, maka pada dirinya ada satu sifat nifaq hingga ia meninggalkannya, yaitu: apabila diamanati ia berbuat khianat, bila berbicara berdusta, bila berjanji melanggar dan bila berselisih berbuat aniaya.” (HR. Bukhari No. 33, Muslim No. 88, Tirmidzi No. 2556, Nasa’i No. 4934, Abu Dawud No. 4068 dan Ahmad No. 6479)
Di antara sifat-sifat utama kaum munafiqin adalah:
1) Mendustakan Rasulullah –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama–,
2) Mendustakan sebagian risalah Rasulullah –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama–,
3) Membenci Rasulullah –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama–,
4) Membenci sebagian risalah Rasulullah –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama–,
5) Bergembira terhadap kemunduran Islam dan umat Islam, dan
6) Bersedih atas kemajuan Islam dan umat Islam.

وَمِنْهُمْ مَنْ يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِنْ لَمْ يُعْطَوْا مِنْهَا إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ

“Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat; jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah।” [QS. at-Taubah (9): 58]

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ

لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِين
َ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka laku-kan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya ber-senda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?”. Tidak usah kalian minta maaf, karena kalian kafir sesudah beriman. Jika Kami mema-afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain) di sebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” [QS. at-Taubah (9): 65-66]

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا

“Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah kalian (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.” [QS. an-Nisaa’ (4): 61]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ فَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِنْ عِنْدِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَى مَا أَسَرُّوا فِي أَنْفُسِهِمْ نَادِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang yahudi dan Nashrani menjadi pemimpin-pemimpin(kalian); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kalian mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi pe-tunjuk kepada orang-orang yang zhalim.
Maka kalian akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: "Kami takut akan mendapat bencana”. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan keme-nangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasia-kan dalam diri mereka” [QS. al-Maaidah (5): 51-52]

Beberapa sifat munafiq yang terkadang menghinggapi orang-orang ber-iman dan termasuk nifak asghar yang harus diwaspadai adalah meng-khianati amanah, berbohong, malas shalat (khususnya shalat jama’ah) dan sebagainya.

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلا قَلِيلا

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan mem-balas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut nama Allah kecuali sedikit sekali” [QS. an Nisaa’ (4): 142]

Rasulullah –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama–bersabda:

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ، إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ. وفى رواية: وَ إِذَا خَاصَمَ فَجَرَ، وَ إِذَا عَاهَدَ غَدَرَ

“Tanda-tanda orang munafik ada tiga: yaitu bila berkata berbohong, bila ber-janji tidak menepati dan bila dipercaya berkhianat॥ Dalam riwayat lain: “Apabila bertengkar melampaui batas, dan bila membuat perjanjian ia melang-garnya।” (HR. Bukhari No. 33 dan Muslim dalam Syarah Nawawi 2/46)

إِنَّ أَثْقَلَ صَلاَةٍ عَلَى اْلمُنَافِقِيْنَ صَلاَةُ عِشَاءِ وَصَلاَةُ اْلفَج
ْرِ
“Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat Isya’ dan Fajar (Shubuh).” (HR. Bukhari No. 657 dan Muslim No. 651)

Sifat-sifat nifaq ashghar dapat menyusup atau hinggap pada diri orang-orang yang beriman. Barangsiapa yang tidak berhati-hati, lama-kelamaan karena terlalu banyaknya sifat nifaq asghar, maka orang tersebut dapat disusupi nifaq akbar. Demikian berbahayanya nifaq, maka para shaha-bat pun sangat takut kalau sewaktu-waktu mereka dihinggapinya.
Ibnu Abi Mulaikatah –Rahimahullah– berkata:

أَدْرَكْتُ ثلاَثِيْنَ مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– كُلَّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ

“Saya berjumpa dengan 30 shahabat Rasulullah, semuanya mengkhawatirkan berjangkitnya nifak dalam diri mereka).”

Penjelasan tentang Kufur/takfir

Berbagai definisi yang dikemukakan oleh ulama Ahlus Sunnah tentang kufur (kekafiran) mempunyai arti yang hampir sama. Namun yang kita ambil adalah definisi kufur yang dinyatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah–, yaitu:

“al-Kufru dalam syari'at adalah lawan dari al-iman. Yaitu tidak adanya iman kepada Allah dan Rasul-Nya dalam diri seseorang. Baik ketiadaan iman itu disertai oleh pendustaan terhadap para rasul dan apa-apa yang dibawanya, ataupun tidak. Yaitu karena disebabkan oleh hal-hal lain, seperti keraguan, atau berpaling, atau hasad, atau kesombongan, atau karena mengikuti hawa nafsu. Apabila kekufuran tersebut disertai pen-dustaan, maka kekufurannya menjadi lebih buruk lagi. Demikian hal-nya dengan orang yang mendustakan dikarenakan hasad, namun di hatinya dia meyakini kebenaran para rasul.”[1]
Kufur terbagi menjadi dua macam, yaitu:
• kufur akbar, dan
• dan kufur ashgar.
Perbedaan antara kedua kufur tersebut adalah:
1) Kufur akbar mengeluarkan pelakunya dari Islam dan meruntuhkan semua amal shaleh। Sedangkan kufur ashgar tidak mengeluarkan pe-lakunya dari Islam dan tidak pul meruntuhkan seluruh amal, tetapi akan mengurangi amal seseorang dan menjadikan pelakunya terancam.

مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ أَعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ لا يَقْدِرُونَ مِمَّا كَسَبُوا عَلَى شَيْءٍ ذَلِكَ هُوَ الضَّلالُ الْبَعِيدُ

“Orang-orang yang kafir kepada Rabbnya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikit pun dari apa yang telah mereka usahakan. Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.” QS. Ibrahim (14): 18

2) Kufur akbar mengekalkan pelakunya di Jahannam, sedangkan kufur ashgar tidak mengekalkan pelakunya di Jahannam, bahkan masih ter-buka kemungkinan baginya untuk diampuni oleh Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– sehingga tidak harus diadzab terlebih dahulu.

3) Kufur akbar menjadikan darah dan harta pelakunya halal, sedangkan kufur ashgar tidak menghalalkan darah dan harta pelakunya.

4) Kufur akbar diberikan al-bara’ mutlak kepada pelakunya, sedangkan pelaku kufur ashgar tetap diberikan wala’ sesuai kadar ketaatannya, dan juga diberikan bara’ sekedar perbuatan maksiatnya.

Kufur akbar ada enam macam, yaitu:
1) Kufur takzib (pendustaan); baik pelakunya mendustakan seluruh kabar yang dibawa oleh Rasulullah –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama–, seperti yang dikerjakan oleh orang-orang kafir asli, ataupun pelakunya mene-rima Islam dan memasuki agama Islam kemudian menolak dan tidak mengakui hukum-hukum yang jelas yang selazimnya diketahui oleh seorang muslim. Seperti tidak mengakui wajibnya shalat, puasa, haji dan lain-lain atau tidak mengakui haramnya khamar, daging babi dan lain-lainnya.

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ كَذَّبَ بِالْحَقِّ لَمَّا جَاءَهُ أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِلْكَافِرِينَ

“Siapakah yang lebih aniaya dari pada orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah atau mendustakan kebenaran setelah datang kepadanya. Bukankah neraka tempat tinggal orang-orang kafir?” QS. al-‘Ankabuut (29): 68


2) Kufur juhud (ingkar); sebenarnya macam kufur ini sama dengan yang sebelumnya (kufur takdzib), yang perbedaan bahwa sang pelaku di dalam hatinya meyakini kebenaran kabar dari Rasulullah –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama– kemudian diingkari dan ditolaknya.

وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ

“Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan, pada-hal hati mereka meyakini (kebenaran) nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan.” QS. an-Naml (27):14

3) Kufur iba’ wa istikbar (penolakan dan kesombongan);: pelaku kufur ini walaupun mengetahui dan mengakui kebenaran Islam dan risalah Rasulullah –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama–, tetapi dia enggan untuk tun-duk, menerima dan melaksanakan kandungan risalah tersebut, baik karena kesombongan atau sebab-sebab lainnya.

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلائِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ

“Dan ingatlah katika Kami berfirman kepada para malaikat: Sujudlah kalian kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali iblis. Ia enggan dan takabur dan jadilah dia dari golongan orang-orang yang kafir.” QS. al-Baqarah (2): 34

4) Kufur syak (keraguan); orang yang mengidap kufur ini merasa ragu terhadap kebenaran risalah para rasul। Dia tidak mendustakan dan juga tidak meyakininya. Sebenarnya keadaan ini bisa cepat hilang dan akan tergantikan oleh kayakinan –Insya Allah–, apabila orang tersebut mau mempelajari agama dengan cermat dan rajin. Karena agama mempu-nyai hujjah-hujjah yang jelas dan kuat serta sesuai dengan fithrah. Te-tapi keadaan ini akan tetap berlangsung, apabila orang tersebut tidak peduli untuk mempelajari agama Islam dengan baik.

وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً وَلَئِنْ رُدِدْتُ إِلَى رَبِّي لأجِدَنَّ خَيْرًا مِنْهَا مُنْقَلَبًا قَالَ لَهُ صَاحِبُهُ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَكَفَرْتَ بِالَّذِي خَلَقَكَ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ سَوَّاكَ رَجُلا

“Aku rasa hari kiamat tidak akan datang dan kalau seandainya aku dikembalikan kepada tuhanku, pasti akan ku dapati tempat kembali yang lebih baik dari kebunku ini. Berkatalah sahabatnya kepadanya sambil me-ngulang-ulang perkataan itu. Apakah kamu kafir (ragu) kepada Rabb yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?” QS. al-Kahfi (18): 36-37

5) Kufur i’radh (pengingkaran); orang yang mengidap kufur ini tidak pe-duli tentang keberadaan Islam. Dia tidak mau mendengarkan atau mempelajarinya, apalagi mencari kebenarannya. Maka orang seperti ini hidup seakan-akan agama Islam tidak ada, dan seakan-akan Rasu-lullah –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama– tidak pernah diutus.

مَا خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلا بِالْحَقِّ وَأَجَلٍ مُسَمًّى وَالَّذِينَ كَفَرُوا عَمَّا أُنْذِرُوا مُعْرِضُونَ

“Dan orang-orang kafir itu berpaling dari peringatan yang disampaikan kepada mereka”. QS. Al-Ahqaaf (46): 3

6) Kufur nifaq; yaitu menunjukkan keimanan pada lahirnya, namun me-nyimpan kekafiran dalam bathinnya. Hatinya kosong dari mahabbah (kecintaan), keikhlasan, keterikatan dan ketundukan kepada agama Islam, terlepas apakah hatinya mempercayai atau tidak.

ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا فَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لا يَفْقَهُونَ

“Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah ber-iman, kemudian menjadi kafir lagi, lalu hati mereka dikunci mati, karena itu mereka tidak dapat mengerti.” QS. al-Munaafiquun (63): 3

Sedangkan kufur ashghar, sama halnya dengan syirik asghar, yaitu amal perbuatan atau perkataan-perkataan yang mempunyai dalil yang meng-kufurkannya, di samping adanya qarinah (dalil lain) yang menunjukkan ketidak kufurannya, atau ada dalil yang terang menamakan suatu per-buatan atau perkataan sebagai kufur asghar, contohnya adalah kufur nikmat, memerangi sesama muslim dan bersumpah dengan selain nama Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–.

Rabu, 29 Oktober 2008

Penjelasan La Ilaha Illallah

Beberapa hal penting untuk memperluas pembahasan La Ilaha Illallah adalah:

La Ilaha Illallah berarti tidak ada ilah yang hak selain Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–, tidak ada Tuhan yang hak selain Allah, tidak ada pencipta selain Allah, tidak ada penghidup dan pemati selain Allah, tidak ada penentu dan pengatur segala sesuatu selain Allah, tidak ada pemberi dan pencegah selain Allah, tidak ada penguasa yang bisa menandingi Allah, tidak ada zat yang tidak bisa dikalahkan dengan mudah oleh Allah, tidak ada kesempurnaan yang mutlak selain pada Allah, tidak ada peribadatan yang boleh diberikan selain kepada Allah, tidak ada satu zat pun yang berada di luar genggaman kekuasan Allah, tidak ada zat yang berhak diagungkan dan dimuliakan selain Allah, tidak ada hakim yang hak selain Allah, tidak ada hukum dan undang-undang yang boleh diterapkan selain hukum-hukum Allah, tidak ada agama yang boleh dianut selain agama Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–.

Syarat-syarat La Ilaha Illallah adalah:
1) al-‘Ilmu (ilmu atau pengetahuan tentang arti La Ilaha Illallah):

Pengetahuan tentang arti La Ilaha Illallah adalah hal utama bagi se-seorang yang bersaksi atas syahadat tersebut. Tanpa mengetahui artinya, tidak ada gunanya lafadz syahadat tersebut bagi yang bersaksi. Arti yang wajib diketahui bagi seseorang yang bersyahadat adalah arti global yang telah dijelaskan di atas (point 73). Sedangkan arti detail, perlu dipelajari terus untuk menambah keimanan seseorang dan mencegahnya dari ter-jatuh kepada lawan syahadat tersebut, yaitu kesyirikan.

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللهُ

“Maka ketahuilah bahwa tiada sesembahan (yang haq) selain Allah.” QS. Muhammad (47): 19

وَلا يَمْلِكُ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الشَّفَاعَةَ إِلا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ


“…akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang menga-kui yang hak (tauhid) dan mereka mengetahui(nya).” QS. az-Zukhruf (43): 86

Rasulullah –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama– bersabda:

مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa yang meninggal dunia dan mengetahui bahwa tidak ada Ilah (yang berhak diibadati) kecuali Allah, niscaya dia akan masuk jannah.” (HR. Muslim No. 38 dan Ahmad No. 434)

2) al-Yaqin (keyakinan tentang kebenaran syahadahnya):

Seseorang yang bersaksi La Ilaha Illallah dan di hatinya meragukan kebenaran syahadat ini, maka syahadatnya tidak akan diterima. Mempe-lajari isi syahadat pada khususnya dan agama Islam pada umumnya de-ngan disertai doa kepada Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–, insya Allah akan memperkuat keyakinan seseorang dari waktu ke waktu.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang ber-iman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” QS. al-Hujuraat (49): 15

Rasulullah –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama– bersabda:

مَنْ لَقِيْتَ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْحَائِطِ يَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبُهُ فَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang berjumpa denganmu dari balik dinding ini dan dia ber-saksi bahwa tidak ada Ilah (yang berhak diibadati) selain Allah, dan meyakini dengan hatinya, maka berilah kabar gembira bahwa dia akan masuk jannah.” (HR. Muslim No. 46)

3) al-Inqiyad (tunduk melaksanakan kandungannya):

Syahadah mempunyai tuntutan-tuntutan dan kandungan-kandungan yang harus dilaksanakan sebagai konsekuensi dari keimanan kita kepa-danya. Kepada tuntutan-tuntutan dan kandungan-kandungan tersebut, kita harus tunduk kepadanya, lahir dan batin.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kalian pada Allah serta jauh-kanlah diri kalian dari perbuatan riba jika kalian benar-benar orang orang mu’min।” QS. al-Baqarah (2): 278

إِنَّمَا ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Sesungguhnya itulah syetan-syetan yang menakut-nakuti kalian dari pengi-kut-pengikutnya, maka janganlah kalian takut pada mereka takutlah kalian pada-Ku jika kalian benar-benar orang-orang mu’min.” QsS Ali Imran (3): 175

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا

“Wahai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian. Jika kalian bersengketa tentang suatu hal maka kemba-likan lah hukumnya kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya) jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” QS. an-Nisaa’ (4): 59

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian menjadikan orang-orang yang menjadikan agamanya sebagai olok-olokan dan permainan, yaitu orang-orang diturunkan pada mereka al-Kitab sebelum kalian serta menjadikan orang-orang kafir sebagai kekasih. Dan bertaqwalah kalian pada Allah jika kalian benar-benar orang-orang mu’min.” Qs.Al Maidah(5): 57

4) al-Qabul (menerima, tidak menolak kandungan-kandungannya):

Syahadat tidak diterima dari seseorang yang menerima sebagian kan-dungannya dan menolak sebagiannya lagi। Seperti halnya orang-orang murtad di Jazirah Arab ketika Rasulullah –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama– meninggal dunia, mereka menerima seluruh ajaran Islam kecuali zakat. Maka mereka pun diperangi sebagai orang-orang yang keluar dari agama.

أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

“Apakah kalian beriman kepada sebagian dari al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demi-kian dari pada kalian melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kalian perbuat”. Qs.Al Baqoroh (2): 85

5) al-Ikhlash (bersyahadat dan melaksanakan isinya hanya demi Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–):
Artinya bahwa seseorang bersyahadat harus hanya demi Allah –Sub-hānahu wa Ta’ālā– dan tidak mengharapkan apapun dari siapa pun juga, selain Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–.

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Mereka tidak diperintahkan kecuali beribadah kepada Allah dengan mengikh-laskan agama bagi-Nya.” QS. al-Bayyinah (98): 5

Rasulullah –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama– bersabda:

أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي مَنْ قَالَ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبهِ

“Manusia yang paling berbahagia dengan syafa`atku adalah orang yang me-ngucapkan La Ilaha Illallah dengan tulus ikhlas dari hatinya.” (HR. Bukhari No. 97 dan Ahmad No. 8503)

6) ash-Shidq (jujur):

Yang dimaksud dengan jujur adalah bahwa syahadat yang diucapkan benar-benar meresap di dalam hati, bukan hanya di mulut saja.

الم أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ
وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

“Adakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan saja berkata: kami telah beriman, tanpa mereka diuji. Sesungguhnya Kami telah uji orang-orang yang sebelum mereka, supaya Allah mengetahui mereka yang jujur dan mereka yang dusta.” QS. al-‘Ankabuut (29): 1-3
Rasulullah –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama– bersabda:

مَنْ قَالَ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ صَادِقًا مِنْ قَلْبِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa mengucapkan La Ilaha Illallah dengan jujur dari hatinya, nis-caya dia masuk syurga.” (HR. Bukhari No. 125, Muslim No. 47 dan Ahmad No. 11882)

7) al-Mahabbah (kecintaan):
Seseorang yang bersyahadat harus mencintai syahadat tersebut dan mencintai orang-orang yang bersyahadat lainnya. Harus memberikan al-wala’ dan al-bara’ atas dasar syahadatnya tersebut. Yaitu berwala’ kepada ahli La Ilaha Illallah dan berbara’ kepada musuh-musuh La Ilaha Illallah.

“Ada pun orang-orang yang beriman amat cinta kepada Allah.” QS. al-Baqa-rah (2): 165
Rasulullah –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama– bersabda:

أَوْثَقُ عُرَي اْلإِيْمَانِ اَلْحُبُّ فِي اللهِ وَاْلبُغْضُ فِي اللهِ

“Ikatan iman yang paling kuat adalah mencintai karena Allah dan membenci karena-Nya pula.” (HR. Ahmad No. 17793)

Berdo'a Hanya Kepada Allah

Do`a merupakan bentuk peribadatan yang sangat besar, maka barang-siapa berdo’a kepada selain Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–, berarti dia telah berbuat syirik kepada-Nya, dengan syirik akbar.

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Dan Rabb kalian berfirman: Berdo’alah kalian kepada-Ku niscaya akan Ku-perkenankan bagi kalian। Sesungguhnya, orang-orang yang enggan untuk beribadah kepada-Ku pasti akan masuk neraka dalam keadaan hina-dina.” QS. al-Mu'min (40): 60

Rasulullah –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama– bersabda:
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ
“Doa adalah ibadah” (HR. Tirmidzi No. 2895 dan Ibnu Majah No. 2818)
Karena Do'a itu ibadah maka tidaklah boleh berdo'a kepada Makhluk. siapapun dan apapun makhluk itu! baik itu para nabi, malaikat, wali-wali yang sudah mati semuanya adalah makhluk, maka tidak boleh berdo'a kepada mereka.

Sihir

Di antara bentuk syirik yang banyak terjadi pada umat ini dan umat-umat sebelumnya adalah sihir. Sihir adalah perbuatan yang dihasilkan oleh adanya kesepakatan antara seorang manusia dengan syetan.

Dengan mempersembahkan peribadatan tertentu kepada syetan, maka seseorang akan mendapatkan bantuan untuk mendapatkan hal-hal tertentu yang diinginkannya. Seperti menceraikan antara sepasang suami istri, men-jadikan seorang benci kepada selainnya atau sebaliknya, menjadikan seseo-rang mencintai seorang lain, menyebabkan timbulnya suatu penyakit pada seseorang, mengelabui pemandangan dan lainnya. Banyak lagi macam-macam sihir yang ada pada zaman dahulu dan sekarang, khususnya yang muncul pada akhir-akhir ini dengan nama-nama baru, seperti paranormal, orang pin-tar dan lainnya.
Rasulullah –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama– bersabda:

(( مَنْ عَقَدَ عُقْدَةً ثُمَّ نَفَثَ فِيْهَا فَقَدْ سَحَرَ، وَمَنْ سَحَرَ فَقَدْ أَشْرَكَ، وَمَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِّلَ إِلَيْهِ ))

“Barangsiapa membuat suatu ikatan, kemudian meniupnya, maka dia telah melakukan sihir. Dan barangsiapa yang melakukan sihir, maka telah berbuat syirik. Barangsiapa yang menggantungkan sesuatu (jimat) pada dirinya, maka dirinya akan dijadikan bersandar kepadanya.” (HR. Nasa’i No. 4011)

Sihir mempunyai hakikat yang nyata benar-benar ada, bukan hanya hayalan dan tipu muslihat kosong Kalau tidak demikian, niscaya kita tidak diperintahkan untuk berlindung kepada Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– dari kejahatan-kejahatan tukang sihir.

Hukuman bagi sahir atau tukang sihir adalah dipenggal kepalanya.
Rasulullah –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama– bersabda:
حَدُّ السَّاحِرِ ضَرْبَةٌ بِالسَّيْفِ
“Hukuman bagi tukang sihir adalah dipenggal kepalanya.” (HR. Tirmidzi No. 1400, Daruquthni 3/114, Hakim 4/360, Baihaqi dan Dzahabi, didha’ifkan oleh Ibnu Hajar dan Albani dalam Dha’if al-Jami’ No. 2698)

Walaupun dinilai dha’if, tetapi hukum yang terdapat dalam hadits tersebut (hukum penggal kepala) telah dipraktekkan oleh ‘Umar bin al-Khaththab, ‘Abdullah bin ‘Umar, Ummul Mu`minin Hafshah bint ‘Umar, ‘Utsman bin ‘Affan, Zundub bin ‘Abdullah, Zundak bin Ka’ab dan Qais bin Sa'ad, yang semuanya adalah shahabat. Hukuman ini juga dilaksanakan oleh ‘Umar bin Abdul ‘Aziz serta difatwakan oleh Imam Malik bin Anas, Imam Ahmad bin Hambal, Abu Hanifah dan lain-lainnya.

Sedangkan Imam Syafi’i menyatakan bahwa seorang tukang sihir harus dibunuh, apabila sihirnya mencapai derajat kekufuran. Kalau tidak, maka tidak dibunuh.

Sebenarnya, tidak ada sihir tanpa harus berbuat syirik dengan syetan. Maka, kemungkinan besar yang dimaksud Imam Syafi’i adalah beragam tipu mus-lihat yang memakai nama sihir.

Penjelasan Syirik Asghor

Syirik asghar terbagi dalam dua bagian, yaitu:
A. Syirik ashgar zhahir (nyata): syirik ini berbentuk perbuatan dan perka-taan, seperti:
1) Bersumpah dengan selain nama Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–, seperti mengatakan “demi nabi, demi hidupmu” dan sebagainya. Perbuatan ini termasuk syirik ashgar, selama pelakunya tidak bermaksud menyamakan Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– dengan makhluk-Nya. Apabila dalam hatinya dia meyakini bahwa Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– sama dengan makhluk-Nya, maka bersumpah dengan nama makhluk adalah syirik akbar.
Rasulullah –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama– bersabda:

(( مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ ))
“Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Allah, maka dia telah berbuat syirik.” (HR. Ahmad No. 2/69 dan Abu Dawud No. 3251)

2) Perkataan “kalau bukan karena Allah dan karena si fulan”.
Rasulullah –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama– bersabda:

(( لاَ تَقُولُوا مَا شَاءَ اللَّهُ وَشَاءَ فُلَانٌ وَلَكِنْ قُولُوا مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ شَاءَ فُلاَنٌ ))

“Janganlah kalian mengatakan: Atas kehendak Allah dan kehendak si fulan, akan tetapi katakanlah: atas kehendak Allah, kemudian atas ke-hendak si fulan.” (HR. Abu Dawud No. 4328 dan Ahmad No. 22179)

3) Memakai gelang dan yang sejenisnya, baik dari logam, benang atau selainnya, untuk menolak kecelakaan atau mendapatkan kebaikan. Perbuatan ini dikategorikan dalam hadits sebagai suatu kesyirikan. Amal seperti ini masuk kategori syirik ashgar, akan tetapi ketika dikerjakan sebagai suatu sebab untuk mendapatkan kebaikan dari kesanggupan benda itu sendiri, selain dari Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–, maka perbuatan itu adalah syirik akbar.
Rasulullah –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama– bersabda:

(( مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَلاَ أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلاَ وَدَعَ اللَّهُ لَهُ ))

“Barangsiapa menggantungkan tamimah semoga Alloh tidak menga-bulkan keinginannya. Dan barangsiapa menggantungkan wada’ah, semoga Allah tidak mengabulkan keinginannya. Dan barangsiapa meng-gantungkan wada’ah, semoga Allah tidak memberi ketenangan pada-nya.” (HR. Ahmad No. 16764)

B. Syirik ashgar khafi (tersembunyi): di antaranya riya’ yang ringan. Yaitu pengindahan suatu amal shaleh yang pada asalnya dikerjakan untuk Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–, namun kemudian ditujukan untuk men-dapatkan pujian dari orang lain. Maka gugurlah amal tersebut.
Rasulullah –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama– bersabda:

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ مِنْ الْمَسِيحِ عِنْدِي، قَالَ: قُلْنَا بَلَى، قَالَ: الشِّرْكُ الْخَفِيُّ أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يَعْمَلُ لِمَكَانِ رَجُلٍ

“Maukah kalian aku beritahu tentang sesuatu yang menurutku lebih aku khawatirkan terhadap kalian dari pada al-Masih ad-Dajjal? Para shahabat menjawab: Tentu ya Rasulullah. Beliau pun bersabda: Syirik tersembunyi, yaitu ketika seseorang berdiri melakukan shalat, dia perindah shalatnya karena mengetahui ada orang lain yang memperhatikannya.” (HR. Ibnu Majah No. 4198 dan Ahmad No. 10822)

Syirik Uluhiyah

Syirik dalam uluhiyyah, seperti halnya tauhid uluhiyyah, terbagi men-jadi tiga bagian:
1) Syirik dalam nusuk: yaitu melakukan praktek peribadatan untuk selain Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–, seperti shalat, puasa, qurban, doa, nadzar, dan lainnya tidak untuk Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–.

فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ

“Maka apabila mereka naik kapal, mereka mendoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” [QS. al-Ankabut (29): 65]

Syirik dalam hakimiyyah: yaitu memberikan kepada zat lain selain Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– hak-hak untuk menentukan hukum. Juga dengan menyingkirkan hukum-hukum Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– dari kehi-dupan umat dan menggantinya dengan hukum-hukum makhluk-Nya. Atau menerapkan sebagian hukum-hukum Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– dan menolak sebagiannya. Menganggap hukum-hukum Allah –Subhā-nahu wa Ta’ālā– sudah tidak cocok lagi pada zaman tertentu, atau hukum selain hukum Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– lebih baik atau sama dengan hukum-Nya. Menganggap bahwa penerapan hukum Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– tidaklah wajib seperti wajibnya menerapkan hukum-hukum lainnya.


اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah dan demikian juga al-Masih putera Maryam; pa-dahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” [QS. at-Taubah (9): 31]

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَلَوْلا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang men-syariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan mem-peroleh azab yang amat pedih.” [QS. asy-Syuuraa’ (42) : 21]

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَلَوْلا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Dan janganlah kalian memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang se-macam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syetan itu membisikkan kepada para pengikutnya agar mereka mendebat kalian dan jika kalian menuruti mereka, maka kalian adalah orang-orang yang musyrik.” [QS. al-An`aam (6): 121]

3) Syirik dalam al-wala’ dan al-bara’: yaitu memberikan al-wala’ kepada kaum kafirin dan kekufuran, menolong kaum kafirin dalam memerangi kaum muslimin atau membalikkan al-wala’ wa al-bara’ yaitu memberikan wala’ kepada syetan dan pengikutnya, dan dengan memberikan bara’ kepada Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–, agama-Nya dan kepada kaum mukminin.

Semua macam syirik tersebut mengekalkan pelakunya dalam api Jahannam pada hari kiamat nanti, walaupun sang pelaku memiliki kebaikan yang ber-gunung-gunung banyaknya.

تَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يَتَوَلَّوْنَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَبِئْسَ مَا قَدَّمَتْ لَهُمْ أَنْفُسُهُمْ أَنْ سَخِطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَفِي الْعَذَابِ هُمْ خَالِدُونَ

“Engkau lihat kebanyakan mereka berwala’ kepada orang-orang kafir, amat buruklah apa-apa yang mereka kerjakan yang mana hal tersebut membuat murka Allah pada mereka dan mereka kekal dalam siksaan. Kalau seandainya mereka beriman pada Allah dan nabi dan pada apa-apa yang diturunkan ke-padanya, tentulah mereka tak akan menjadikan orang-orang kafir itu sebagai kekasih-kekasih mereka akan tetapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik.” [QS. al-Maaidah(5): 80-81]

Syirik Asma wa sifat

Syirik dalam asma’ wa sifat, seperti menyamakan Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–. dengan makhluk-Nya, baik dalam Dzat, sifat-sifat, ataupun nama-nama-Nya yang khusus hanya bagi-Nya.

Syirik dalam rububiyyah dan asma’ wa sifat memiliki hubungan yang ham-pir tidak dapat dipisahkan dan dibedakan.

وَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ وَلِيٌّ مِنَ الذُّلِّ وَكَبِّرْهُ تَكْبِيرًا

“Dan katakanlah: ”Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan tidak mempunyai penolong (untuk menjaga-Nya) dari kehinaan dan agungkanlah Dia dengan penga-gungan yang sebenar-benarnya.” [QS. Al Israa (17): 111]

قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ قُلِ اللَّهُ قُلْ أَفَاتَّخَذْتُمْ مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ لا يَمْلِكُونَ لأنْفُسِهِمْ نَفْعًا وَلا ضَرًّا قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الأعْمَى وَالْبَصِيرُ أَمْ هَلْ تَسْتَوِي الظُّلُمَاتُ وَالنُّورُ أَمْ جَعَلُوا لِلَّهِ شُرَكَاءَ خَلَقُوا كَخَلْقِهِ فَتَشَابَهَ الْخَلْقُ عَلَيْهِمْ قُلِ اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ

“Katakanlah: “Siapakah Rabb langit dan bumi” Jawabnya: “Allah”. Katakan-lah: “Maka patutkah kalian mengambil pelindung-pelindung kalian dari selain Allah, padahal mereka tidak menguasai kemanfaatan dan tidak (pula) kemu-dharatan bagi diri mereka sendiri”. Katakanlah: “Adakah sama orang buta dan orang yang dapat melihat, atau samakah gelap gulita dan terang benderang; “Apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Alloh yang dapat mencip-takan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pan-dangan mereka”. Katakanlah: “Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Rabb Yang Maha esa lagi Maha Perkasa.” [QS. ar-Ra`du (13): 16]

Syirik Rubbubiyah

Karena syirik adalah lawan dari tauhid, maka syirik pun dapat dibagi seperti pembagian tauhid (pembagian macam-macam tauhid dan syirik adalah masalah pemahaman saja), yaitu syirik pada rububiyyah, syirik pada asma’ wa sifat dan syirik pada uluhiyah.

Syirik pada rububiyyah adalah lawan dari tauhid rububiyyah. Yaitu memberikan sebagian atau seluruh rububiyyah Alloh –Subhānahu wa Ta’ālā– kepada zat lain. Seperti mempercayai adanya pencipta, penguasa mutlak, pemberi rizki, penghidup, pemati dan sebagainya selain dari Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–.

قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ لا يَمْلِكُونَ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلا فِي الأرْضِ وَمَا لَهُمْ فِيهِمَا مِنْ شِرْكٍ وَمَا لَهُ مِنْهُمْ مِنْ ظَهِيرٍ

“Katakanlah: “Serulah mereka yang kalian anggap (sebagai ilah) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya.” QS. Saba’ (34): 22

قُلْ أَرَأَيْتُمْ شُرَكَاءَكُمُ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَرُونِي مَاذَا خَلَقُوا مِنَ الأرْضِ أَمْ لَهُمْ شِرْكٌ فِي السَّمَاوَاتِ أَمْ آتَيْنَاهُمْ كِتَابًا فَهُمْ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْهُ بَلْ إِنْ يَعِدُ الظَّالِمُونَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا إِلا غُرُورًا

“Katakanlah: “Terangkanlah kepada-Ku tentang sekutu-sekutu kalian yang kalian seru selain Allah. Perlihatkanlah kepada-Ku (bahagian) manakah dari bumi yang telah mereka ciptakan ataukah mereka mempunyai saham dalam (penciptaan) langit atau adakah Kami memberi kepada mereka sebuah Kitab sehingga mereka mendapat keterangan-keterangan yang jelas dari padanya Sebenarnya orang-orang yang zhalim itu sebahagian dari mereka tidak men-janjikan kepada sebahagian yang lain, melainkan tipuan belaka.” QS. Faathir (35): 40

قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَرُونِي مَاذَا خَلَقُوا مِنَ الأرْضِ أَمْ لَهُمْ شِرْكٌ فِي السَّمَاوَاتِ اِئْتُونِي بِكِتَابٍ مِنْ قَبْلِ هَذَا أَوْ أَثَارَةٍ مِنْ عِلْمٍ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

“Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kalian sembah selain Allah; perlihatkanlah kepada-Ku apakah yang telah mereka ciptakan dari bumi ini atau adakah mereka berserikat (dengan Allah) dalam (penciptaan) langit? Bawalah kepadaku kitab yang sebelum (al-Qur'an) ini atau peninggalan dari pengetahuan (orang-orang dahulu), jika kalian adalah orang-orang yang benar.” QS. al-Ahqaaf (46): 4

Syirik Adalah pembatal Tauhid

Lawan dari tauhid adalah syirik atau kesyirikan Arti syirik adalah mem-berikan sifat-sifat atau hak-hak Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– atau mem-berikan peribadatan yang seharusnya hanya dipersembahkan kepada Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– ternyata diberikan kepada zat selain-Nya, baik sebagian atau seluruhnya. Demikian juga yang termasuk syirik adalah menyamakan Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– dengan makhluk-Nya, atau menjadikan suatu zat sebagai tandingan-Nya dalam hal apa pun juga.

Dari segi besar dan kecilnya, syirik terbagi dua bagian, yaitu syirik akbar dan syirik ashgar.
Syirik akbar adalah syirik yang menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam. Sedangkan syirik asghar adalah perbuatan-perbuatan, baik perbuatan hati, lisan atau pun anggota badan, yang masuk dalam kate-gori syirik tetapi tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari Islam.
Pada umumnya, semua perbuatan syirik adalah syirik akbar, tetapi ada beberapa perbuatan tertentu yang dikeluarkan dari ke-akbarannya dengan nash-nash tertentu dan akhirnya menjadi syirik ashgar. Walau pun syirik ashgar tidak mengkafirkan seseorang, tetapi syirik ashgar adalah dosa yang sangat besar.
“Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.” QS. an-Nisaa’ (4): 36
وَأَنْذِرْ بِهِ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْ يُحْشَرُوا إِلَى رَبِّهِمْ لَيْسَ لَهُمْ مِنْ دُونِهِ وَلِيٌّ وَلا شَفِيعٌ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

“Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kalian oleh Rabb kalian, yaitu: janganlah kalian mempersekutukan sesuatu dengan Dia.” QS. al An`aam (6): 151
Syirik akbar adalah perbuatan yang sangat keji, yang tidak akan diam-puni oleh Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– di akhirat nanti, apabila pela-kunya tidak bertaubat ketika di dunia Meruntuhkan seluruh amal per-buatan pelakunya, bagaimana pun besar amal perbuatan tersebut, dan menjadikan pelakunya orang musyrik yang kekal di Jahannam walau pun dia mengucapkan dua syahadah dan beramal shaleh yang banyak sekali.

إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengam-puni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” QS. an-Nisaa’ 4): 48
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sungguh telah kafir orang-orang yang berkata: Allah itu adalah al-Masih Ibnu Maryam, sedangkan al-Masih berkata: wahai bani Isra’il beribadahlah kalian pada Alloh Tuhanku dan Tuhan kalian, barangsiapa yang memperse-kutukan Allah, sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas mereka syurga dan tempat kembali mereka adalah neraka serta tidak ada bagi orang-orang Dzolim itu penolong.” QS. al Maaidah (5): 72

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan tatkala Luqman berkata pada anaknya sambil memberikan nasihat pada-nya, (ia berkata:) wahai anakku janganlah engkau mempersekutukan Allah sesungguhnya syirik itu adalah kedzaliman yang besar.” QS. Luqman (31): 13

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Sesungguhnya telah diwahyukan padamu dan pada orang-orang sebelum mu (yaitu) bila engkau berbuat syirik maka hancurlah amalan-amalan engkau dan engkau termasuk orang-orang yang merugi” QS. az-Zumar (39): 65

Syirik ashgar adalah perbuatan-perbuatan yang ditunjukkan oleh nash-nash tertentu, baik langsung maupun tidak lansung, sebagai kesyirikan, tanpa menjadikan pelakunya sebagai seorang musyrik yang keluar dari Islam Syirik ashgar tidak meruntuhkan semua amal pelakunya, tetapi hanya meruntuhkan amal tertentu yang dimasuki syirik ashgar tersebut. Syirik ashgar dikategorikan sebagai dosa-dosa besar yang pelakunya masih mungkin diampuni pada hari kiamat kelak. Walaupun syirik ashgar tidak sekeji syirik akbar, tetapi syirik ashgar dapat menyeret pelakunya kepada syirik akbar.

Karena syirik adalah lawan dari tauhid, maka syirik pun dapat dibagi seperti pembagian tauhid (pembagian macam-macam tauhid dan syirik adalah masalah pemahaman saja), yaitu syirik pada rububiyyah, syirik pada asma’ wa sifat dan syirik pada uluhiyah.

Tauhid Uluhiyah

52. Termasuk dalam kandungan utama hakimiyyah adalah berusaha mene-gakkan hukum-hukum Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– di muka bumi, bagi siapa saja yang sanggup mengupayakannya. Barangsiapa yang tidak sanggup menegakkannya, maka harus mendukung semua usaha dan semua orang yang mengusahakan penegakannya.

Barangsiapa yang tidak sanggup mendukung secara materi dan tenaga, maka harus tidak meninggalkan dukungan dengan hati dan doa. Barangsiapa yang ber-balik memusuhi penegakan hukum-hukum Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– di muka bumi, maka orang tersebut telah menolak penyerahan hak-hak hakimiyyah kepada Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– dan memberi peluang kepada selain-Nya untuk menjadi hakim pengganti-Nya. Hal ini berarti peperangan terhadap Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–.



53. Tauhid uluhiyyah dalam al-wala’ wa al-bara’; al-wala’ wa al-bara’ adalah bagian dari tauhid uluhiyyah. Tauhid uluhiyyah adalah men-tauhidkan Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– melalui perbuatan-perbuatan kita. Di waktu yang sama, al-wala’ wa al-bara’ adalah bagian dari per-buatan manusia yang besar, yang harus disalurkan hanya berdasarkan manhaj Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–.

لا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ



“Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali kalau yang demi-kian itu karena kalian takut kepada mereka. Dan Allah memperingatkan kalian terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Alloh kalian kembali.” QS. Ali `Imraan (3): 28

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ



“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian jadikan orang-orang Yahudi dan Nashara sebagai wali-wali untuk kalian. Sebagian mereka adalah wali untuk sebagian lainnya. Barangsiapa di antara kalian mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” QS. al-Maaidah (5): 51

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ



“Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dike-hendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” QS. al-Maaidah (5): 54

54. al-Wala’ berarti kedekatan, kecintaan dan pembelaan. Sedangkan al-bara’ adalah kejauhan, kebencian dan permusuhan. Ketika semua hal tersebut disalurkan menurut manhaj Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–, maka semua hal tersebut merupakan peribadatan yang besar sekali.



إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّى يُهَاجِرُوا وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلا عَلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الأرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

وَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْ بَعْدُ وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا مَعَكُمْ فَأُولَئِكَ مِنْكُمْ وَأُولُو الأرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ



“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban atas kalian melindungi me-reka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi jika mereka meminta pertolongan kepada kalian dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kalian dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.

Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kalian (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperin-tahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.

Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia.

Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersama kalian maka orang-orang itu termasuk golongan kalian (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih ber-hak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [QS. al-Anfaal (8): 72-75)


لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ

“Sesungguhnya Kami t

Hukum Allah VS Hukum Thaghut

51.Selain hukum Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– adalah hukum jahiliyyah dan hukum thaghut.

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Apakah hukum jahiliyyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik dari pada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” QS. al-Maaidah (5): 50

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالا بَعِيدًا

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang ditu-runkan sebelum kamu, mereka ingin berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah berkufur kepada thaghut. Dan syetan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” QS. an-Nisaa’ (4): 60
Selamanya Tidak akan menyatu antara Hukum Allah dan hukum selain-Nya /Hukum Thaghut. karena ini konskuensi dari ketauhidahn kepada Allah, aneh sekali bila ada orang yang mengaku muslim namun menolak hukum-hukum Allah sebagai pedoman masyarakat dalam bernegara. Kemudian mereka memilih hukum-hukum thaghut yang dibuat oleh DPR-MPR.

asma wa sifat 2

40. Semua nama-nama Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– adalah al-asma’ al-husna’ (nama yang baik). Tidak ada dalam nama-nama-Nya kandungan keburukan sedikit pun.

Oleh karena itu, kita diperintahkan untuk beribadah dan berdoa dengan al-asma’ al-husna’ tersebut. Maka sebagai orang-orang yang beriman, kita ber-kewajiban untuk mempelajari nama-nama dan sifat-sifat-Nya tersebut.

41. Takyif; berasal dari kata kaif, yang dalam bahasa Arab berarti “bagai-mana”. Arti takyif dalam pembahasan ini adalah “penentuan ke-bagai-mana-an” hakikat sifat-sifat Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–, seperti me-nentukan bagaimana hakikat yang sebenarnya dari wajah Allah, bagai-manakah Allah bersemayam di atas Arsy-Nya, bagaimanakah Allah mendengar dan melihat, dan lain sebagainya.

Kaidah penting dalam manhaj Ahlus Sunnah wal jama’ah yang dicetus-kan oleh Imam Malik –Rahimahullah– adalah:

( اَلإِسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ، وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ، وَالإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ )

“al-Istiwa (bersemayamnya Allah) dapat dipahami artinya, hakikat (ke-bagaimana-annya) tidak diketahui, mengimaninya wajib dan bertanya tentang hakikatnya adalah bid’ah.”[1]

Jadi arti dari sifat-sifat sangatlah jelas, adapun hakikatnya, maka tidak kita ketahui (karena Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– tidak menjelaskannya kepada kita). Menentukan hakikat sifat-Nya berdasarkan khayalan manusia, atau hasil pemikiran akal manusia, adalah takyif. Jangankan menentukan hakikatnya, menanyakan bagaimana hakikatnya saja sudah termasuk bid’ah.
42. Tasybih, artinya menyerupakan Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– dengan makhluk-Nya. Seperti mengatakan bahwa hakikat mata Allah –Subhā-nahu wa Ta’ālā– seperti mata manusia, kemarahan Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– seperti kemarahan manusia, rahmat Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–seperti rahmat manusia, dan sebagainya. Tasybih merupakan bentuk kesyirikan yang nyata.
43. Tahrif, artinya pengubahan arti dari sifat-sifat Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–, baik dengan merubah huruf-hurufnya atau menolak arti yang benar.
Seperti mengubah kata al-istiwa’ yang berarti bersemayam dengan kata al-istaula’ yang berarti menguasai. Biasanya penggantian seperti ini dilakukan oleh ahlul bid’ah, dengan alasan bahwa penggantian atau pengubahan itu adalah suatu keharusan, karena kalau tidak dirubah, maka akan terjadi tasybih.
Pemahaman seperti ini ditolak oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan hujjah-hujjah sebagai berikut:
1) Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– lebih tahu dan lebih pandai menjelaskan tentang diri-Nya, dan tidakbutuh kepada makhluk-Nya untuk meru-bah kata-katanya supaya menjadi lebih tepat.
2) Seperti sudah dijelaskan, bahwa kesamaan lafadz sifat tidak berarti tasybih, sebab hakikat dari sifat-sifat itu berbeda antara satu dengan yang lainnya, menurut perbedaan zat si empunya sifat.
3) Kalau benar bahwa tidak adanya pengubahan akan menghasilkan tasy-bih, bagaimana dengan kata-kata atau sifat-sifat yang baru yang dijadi-kan pengganti, tidakkah padanya juga akan terjaditasybih?
44. Ta’thil, dalam bahasa Arab berarti meniadakan sesuatu atau meniada-kan fungsinya. Sedangkan secara istilah, ta’thil berarti menolak (meni-adakan) sebagian atau semua sifat-sifat Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– atau mengosongkannya dari artinya.

Hal ini dilakukan oleh ahlul bid’ah juga dikarenakan kekhawatiran mereka akan terjadinya tasybih. Sehingga mereka dengan berani keluar dari ketentuan-ketentuan yang telah digariskan al-Kitab dan as-Sunnah, dan keluar dari akal yang sehat.

Contohnya, mereka menetapkan nama Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– tetapi mengosongkan atau meniadakan-Nya dari sifat, seperti mengatakan bahwa Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– adalah ar-Rahim, tetapi tidak memiliki sifat rahmat, Allah adalah as-Sami’ tanpa sam’ (pendengaran) dan lainnya. Meniadakan sifat sebenarnya berarti meniadakan zat. Sebab tidak ada zat yang tidak memi-liki sifat. Hanya sesuatu yang tidak ada sajalah yang tidak memiliki sifat.
45. Tauhid uluhiyyah adalah mempersembahkan seluruh peribadatan hanya kepada Allah –Subhānahuwa Ta’ālā–. Dengan kata lain, adalah penge-saan Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– dalam peribadatan.Tauhid uluhiyyah disebut juga tauhid ilahiyah atau tauhid ‘ubudiyyah.

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rosul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak) melainkan Aku, maka beribadahlah kalian hanya kepada-ku.”QS. al-Anbiyaa (21): 25

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah hanya kepada-ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki mereka memberi Aku makan.” (QS. adz-Dzaariyaat (51): 56-57)
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
"Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.”QS. an-Nisaa’ (4):36
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Alloh dengan mengikhlaskan agama (Peribadatan) hanya untuk-Nya dan menjadi orang-orang yang lurus (Bertauhid)". (QS. Al Bayyinah (98): 5)
46. Kaidah di atas berlaku bagi semua permasalahan aqidah, termasuk ma-salah asma’ wa shifat. Maka kaidah dalam asma’ wa shifat adalah:
1) Apa-apa yang Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– dan Rasul-Nya –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama–tetapkan bagi-Nya –Subhānahu wa Ta’ālā–, baik nama, sifat ataupun perbuatan, maka kita mempercayai dan menetapkan hal tersebut bagi-Nya, tanpa takyif, ta’thil, tasybih, dan tahrif.
2) Apa-apa yang Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– dan Rasul-Nya –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama–sangkal bagi-Nya, baik nama, sifat ataupun perbu-atan, maka kita pun menyangkalnya.
3) Apa-apa yang tidak tercantum dalam wahyu-Nya, baik penetapan atau penyangkalan, baik dalam nama, sifat atau pun perbuatan-Nya, maka kita tidak melibatkannya dalam aqidah kita, baik dalam bentuk pene-tapan (penerimaan) atau pun dalam bentuk penyangkalan (penolakan).
47. Ini adalah metode beragama yang benar, manhajnya Rasulullah –Shal-lallahu ‘alayhi wa Sallama–dan para sahabatnya, manhaj al-Qur’an dan as-Sunnah.
48. Setiap kata mempunyai tiga rukun, yaitu: lafadz, arti dan hakikat. Lafadz kata yang sama, bisa mempunyai arti yang sama dalam hal bahasa, te-tapi mempunyai hakikat yang berbeda, tergantung pada zat si empunya kata tersebut.
Contoh kata “kepala”, ketika kata “kepala” ini dihubungkan dengan dua pemilik yang berbeda, makahakikatnya akan berbeda pula. Misalnya: kepala sekolah dan kepala macan. Lafadz kedua-duanyaadalah k-e-p-a-l-a, dalam bahasa pun memiliki arti yang sama, yaitu zat yang diikuti oleh bagian yanglainnya. Tetapi hakikat keduanya berbeda jauh sekali. Contoh lainnya; kaki meja dan kaki sapi, muka bumi dan muka manusia, dan lainnya.
Dari sini kita mengetahui bahwa kesamaan lafadz dari suatu sifat, tidak harus menyamakan hakikat sifat tersebut, selama zat si empunya sifat berbeda. Apabila perbedaan hakikat tersebut nampak sekali terjadi di antara sesama mahkluk, maka perbedaan antara hakikat sifat Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–dan makhluk-Nya akan lebih sangat nampak sekali, bahkan lebih jelas dan lebih besar perbedaannya, walau pun lafadz sifat keduanya sama.
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [QS. asy Syuuraa’ (42): 11]
49. Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– memberitahukan kita tentang nama-nama dan sifat-sifat-Nya, danterkadang memberikan kepada makhluk-Nya beberapa nama dan sifat yang sama dengan nama dan sifat-sifat-Nya.

Dalam hal ini, yang sama hanyalah lafadz dan artinya saja, tetapi hakikat-nya tidaklah sama. Seperti nama Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– as-Sami’ dan al-Bashir, dalam surat al-Insaan: 76, Allah-punmemberi nama kepada manu-sia dengan nama yang sama, yaitu as-Sami’ dan al-Bashir.
Tetapi hakikat keduanya tidaklah sama, baik dalam kekekalan, keluasan, kekuatan danketajamannya, atau pun dari segi ke-bagaimana-annya dalam melihatnya dan dari segi-segi lainnya. Maka, kesamaan lafadz dalam nama dan sifat dengan dukungan dalil tidaklah berarti adanya kesamaan hakikat, dan tidak pula berarti arti kesyirikan.
Ahlus Sunnah menerima nama-nama dan sifat-sifat Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– sebagaimana yang dikabarkan oleh wahyu tanpa merubah-rubahnya, baik lafadz maupun artinya, sedangkan hakikat nama-nama dan sifat-sifat-Nya tersebut ada pada ilmu-Nya.

50. Semua nama-nama Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– adalah al-asma’ al-husna’ (nama yang baik). Tidakada dalam nama-nama-Nya kandungan keburukan sedikit pun.
Oleh karena itu, kita diperintahkan untuk beribadah dan berdoa dengan al-asma’ al-husna’ tersebut. Maka sebagai orang-orang yang beriman, kita ber-kewajiban untuk mempelajari nama-nama dan sifat-sifat-Nya tersebut.
[1] al-`Uluw hal.141-142; Hilyah al-Auliya 6/325-326 dan Fath al-Bari 13/406.

Asma wa Sifat

Tauhid asma’ wa sifat adalah mengesakan Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– (dalam hal nama-nama dan sifat-sifat-Nya), yaitu keyakinan yang pasti bahwa Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– mempunyai nama-nama yang mulia dan sifat-sifat yang agung serta sempurna, yang tidak diiringi oleh suatu kekurangan, kelemahan atau keburukan, sebagaimana yang telah dika-barkan oleh Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– sendiri di dalam kitab-Nya dan oleh Rasulullah –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama– di dalam hadits-haditsnya.
اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ لَهُ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى

“Dialah Allah, tidak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai al-asmaaul husna (nama-nama yang baik).” [QS. Thaahaa (20): 8]

وَالَّذِينَ يُمَسِّكُونَ بِالْكِتَابِ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ إِنَّا لا نُضِيعُ أَجْرَ الْمُصْلِحِينَ

Hanya milik Alloh asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna itu dan tinggalakanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. [QS. al-A`raaf (7): 180]

. Nama-nama Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– tidak kita ketahui bilangan atau banyaknya. Sebab selain nama-nama yang Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– diajarkan kepada hamba-hamba-Nya, Allah pun memiliki nama-nama yang disembunyikan-Nya di ilmu ghaib di sisi-Nya.
Rasulullah –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama– bersabda:

(( أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ ))

“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan segala nama yang Engkau miliki, yang nama itu Engkau namakan sendiri, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang makhluk-Mu, atau Engkau sebutkan dalam Kitab-Mu, atau Engkau rahasikan dalam ilmu ghaib di sisi-Mu.” (HR. Ahmad No. 3528)

34. Nama-nama Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– adalah tauqifiyah, artinya bahwa nama-nama Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– sudah ditentukan oleh-Nya melalui al-Qur'an dan hadits-hadits Rasul-Nya –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama–. Tidak ada seorang pun yang berhak membuat nama baru untuk Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–, dengan ijtihadnya sendiri.

مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ أَمَرَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ


“Kalian tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kalian dan nenek moyang kalian membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kalian tidak me-nyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [QS. Yusuf (12): 40]

إِنْ هِيَ إِلا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الأنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى

“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kalian dan bapak-bapak kalian meng-ada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (me-nyembah)nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguh-nya telah datang petunjuk kepada mereka dari Robb mereka.” [QS. an-Najm ( 53): 23]

وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengeta-huan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua-nya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.” [QS. al-Israa’ (17): 36]

35. Salah satu kaidah umum dan dasar dalam aqidah Islamiyyah menyata-kan bahwa satu-satunya sumber aqidah Islamiyyah adalah wahyu dari Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– yang disampaikan oleh Rasul-Nya –Shal-lallahu ‘alayhi wa Sallama–, baik dalam al-Qur'an maupun dalam hadits-hadits Rasul-Nya –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama–.


Tidak ada sumber lain yang dapat dan boleh diterima. Kita wajib menerima dan mempercayai apa-apa yang ditetapkan oleh wahyu, dan apa-apa yang ditolak oleh wahyu, maka kita pun harus menolaknya. Sedangkan apa-apa yang tidak ditetapkan ataupun ditolak oleh wahyu, maka kita tidak masuk atau ikut campur ke dalamnya, baik dalam bentuk penerimaan atau pun pe-nolakan, bahkan memberitakannya pun tidak. Dalam masalah aqidah, wahyu berbentuk kabar berita, sedangkan dalam masalah ibadah wahyu berbentuk tuntutan (perintah atau larangan).

قُلْ لا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلا مَا يُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الأعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلا تَتَفَكَّرُونَ


“Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepada kalian, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang goib dan tidak (pula) aku mengatakan kepada kalian bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengi-kuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” QS. al-An’aam (6): 50

وَإِذَا لَمْ تَأْتِهِمْ بِآيَةٍ قَالُوا لَوْلا اجْتَبَيْتَهَا قُلْ إِنَّمَا أَتَّبِعُ مَا يُوحَى إِلَيَّ مِنْ رَبِّي هَذَا بَصَائِرُ مِنْ رَبِّكُمْ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

“Dan apabila kamu tidak membawa suatu ayat al-Qur’an kepada mereka, me-reka berkata: Mengapa tidak kamu buat sendiri ayat itu? Katakanlah: Sesung-guhnya aku hanya mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku.” QS. al-A’raaf (7): 203


وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُنَا بَيِّنَاتٍ قَالَ الَّذِينَ لا يَرْجُونَ لِقَاءَنَا ائْتِ بِقُرْآنٍ غَيْرِ هَذَا أَوْ بَدِّلْهُ قُلْ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أُبَدِّلَهُ مِنْ تِلْقَاءِ نَفْسِي إِنْ أَتَّبِعُ إِلا مَا يُوحَى إِلَيَ


“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: Datang-kanlah al-Qur’an yang lain dari ini atau gantilah dia. Katakanlah: Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” QS. Yunus (10): 15

36. Kaidah di atas berlaku bagi semua permasalahan aqidah, termasuk ma-salah asma’ wa shifat. Maka kaidah dalam asma’ wa shifat adalah:
1) Apa-apa yang Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– dan Rasul-Nya –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama– tetapkan bagi-Nya –Subhānahu wa Ta’ālā–, baik nama, sifat ataupun perbuatan, maka kita mempercayai dan menetapkan hal tersebut bagi-Nya, tanpa takyif, ta’thil, tasybih, dan tahrif.
2) Apa-apa yang Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– dan Rasul-Nya –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama– sangkal bagi-Nya, baik nama, sifat ataupun perbu-atan, maka kita pun menyangkalnya.
3) Apa-apa yang tidak tercantum dalam wahyu-Nya, baik penetapan atau penyangkalan, baik dalam nama, sifat atau pun perbuatan-Nya, maka kita tidak melibatkannya dalam aqidah kita, baik dalam bentuk pene-tapan (penerimaan) atau pun dalam bentuk penyangkalan (penolakan).

37. Ini adalah metode beragama yang benar, manhajnya Rasulullah –Shal-lallahu ‘alayhi wa Sallama– dan para sahabatnya, manhaj al-Qur’an dan as-Sunnah.

38. Setiap kata mempunyai tiga rukun, yaitu: lafadz, arti dan hakikat. Lafadz kata yang sama, bisa mempunyai arti yang sama dalam hal bahasa, te-tapi mempunyai hakikat yang berbeda, tergantung pada zat si empunya kata tersebut.


Contoh kata “kepala”, ketika kata “kepala” ini dihubungkan dengan dua pemilik yang berbeda, maka hakikatnya akan berbeda pula. Misalnya: kepala sekolah dan kepala macan. Lafadz kedua-duanya adalah k-e-p-a-l-a, dalam bahasa pun memiliki arti yang sama, yaitu zat yang diikuti oleh bagian yang lainnya. Tetapi hakikat keduanya berbeda jauh sekali. Contoh lainnya; kaki meja dan kaki sapi, muka bumi dan muka manusia, dan lainnya.

Dari sini kita mengetahui bahwa kesamaan lafadz dari suatu sifat, tidak harus menyamakan hakikat sifat tersebut, selama zat si empunya sifat berbeda. Apabila perbedaan hakikat tersebut nampak sekali terjadi di antara sesama mahkluk, maka perbedaan antara hakikat sifat Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– dan makhluk-Nya akan lebih sangat nampak sekali, bahkan lebih jelas dan lebih besar perbedaannya, walau pun lafadz sifat keduanya sama.

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [QS. asy Syuuraa’ (42): 11]

39. Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– memberitahukan kita tentang nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dan terkadang memberikan kepada makhluk-Nya beberapa nama dan sifat yang sama dengan nama dan sifat-sifat-Nya.
Dalam hal ini, yang sama hanyalah lafadz dan artinya saja, tetapi hakikat-nya tidaklah sama. Seperti nama Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– as-Sami’ dan al-Bashir, dalam surat al-Insaan: 76, Allah-pun memberi nama kepada manu-sia dengan nama yang sama, yaitu as-Sami’ dan al-Bashir.
Tetapi hakikat keduanya tidaklah sama, baik dalam kekekalan, keluasan, kekuatan dan ketajamannya, atau pun dari segi ke-bagaimana-annya dalam melihatnya dan dari segi-segi lainnya. Maka, kesamaan lafadz dalam nama dan sifat dengan dukungan dalil tidaklah berarti adanya kesamaan hakikat, dan tidak pula berarti arti kesyirikan.
Ahlus Sunnah menerima nama-nama dan sifat-sifat Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– sebagaimana yang dikabarkan oleh wahyu tanpa merubah-rubahnya, baik lafadz maupun artinya, sedangkan hakikat nama-nama dan sifat-sifat-Nya tersebut ada pada ilmu-Nya.

Penjelasan Tauhid Rububiyah

Tauhid ar-rububiyah adalah mengesakan Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– dalam rububiyyah-Nya. Yaitu pengesaan dan pensucian Allah –Subhā-nahu wa Ta’ālā– dalam kekuasaan dan perbuatan-perbuatan-Nya. Tiada syarik (sekutu) bagi-Nya.

أَلا لَهُ الْخَلْقُ وَالأمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanya hak Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta alam.” [QS. al-A’raaf (7): 54]

يُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَيُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ يَجْرِي لأجَلٍ مُسَمًّى

ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَهُ الْمُلْكُ وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِنْ قِطْمِيرٍ

“Yang (berbuat) demikian itulah Allah Rabb kalian, kepunyaan-Nya-lah kerajaan. Dan orang-orang yang kalian seru (ibadahi) selain Allah tidak mem-punyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.“ [QS. Faathir (35): 13]

. Termasuk dalam kandungan tauhid rububiyyah, bahwa hanya Allah-lah Pencipta alam semesta dan semua yang ada di dalamnya, Pemberi dan Pencegah, Penghidup dan Pemati, Pengada dan Peniada. Tiada sekutu bagi-Nya.

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ


يَعْدِلُونَ

“Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi, dan meng-adakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan Robb mereka.” [QS. al-An`aam (6): 1]

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ

مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ تُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَتُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ

وَتُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَتُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَتَرْزُقُ مَنْ تَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ


“Katakanlah: “Wahai Ilah Yang hanya Dialah pemilik seluruh kerajaan, Engkau berikan kerajaan (kekuasaan) kepada orang yang Engkau kehendaki Engkau cabut kerajaan (kekuasaan) dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau mu-liakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang kepada malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas).” [QS. Ali `Imran (3): 26-27]

قُلْ لِمَنِ الأرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلا تَذَكَّرُونَ

قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ

سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلا تَتَّقُونَ

قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ

“Katakanlah: Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kalian mengetahui? Mereka akan menjawab: Kepunyaan Allah. Kata-kanlah: Maka apakah kalian tidak ingat? Katakanlah: Siapakah Empunya langit yang tujuh dan Empunya ‘Arsy yang besar? Mereka akan menjawab: Allah. Katakanlah: Maka mengapa kalian tidak bertaqwa (karena-Nya)? Ka-takanlah: Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu, sedang Dia mampu melindungi (dari segala apa saja), tetapi tidak ada sesuatu pun yang sanggup melindungi seseorang dari (adzab)-Nya, jika kalian menge-tahui? Mereka akan menjawab: Alloh! Katakanlah: (Kalau demikian), maka bagaimana sampai kalian bisa tertipu?” [QS. al-Mu'minuun (23): 84-89]

. Termasuk kandungan tauhid rububiyyah, bahwa Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– adalah Penguasa tertinggi, kekuasaan-Nya tidak ada batasnya, dan tidak ada kekuasaan yang menandingi-Nya. Semua makhluk berada dalam genggaman kekuasaan-Nya. Semua yang dikehendaki-Nya pasti terjadi, dan semua yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan pernah ter-jadi. Tidak ada keinginan lain yang bisa terlaksana bila bertentangan dengan keinginan-Nya. Tidak ada yang bisa mencegah-Nya dari berbuat apa pun juga.

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ قُلْ فَمَنْ يَمْلِكُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ أَنْ

يُهْلِكَ الْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَأُمَّهُ وَمَنْ فِي الأرْضِ جَمِيعًا وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا

بَيْنَهُمَا يخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah itu adalah al-Masih putera Maryam”. Katakanlah: “Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membina-sakan al-Masih putera Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang berada di bumi semuanya”. Kepunyaan Allah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” [QS. al-Maa’idah (5): 17]

. Termasuk dalam kandungan rububiyyah-Nya, hanya Allah-lah Yang Maha Memuliakan dan Menghinakan, Mengangkat dan Merendahkan, Mengkayakan dan Memiskinkan, Memberi manfaat dan Mencelakakan. Tidak ada yang mampu menandingi-Nya dalam kerububiyahan-Nya tersebut.

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ

مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Katakanlah: Wahai Rabb Yang mempunyai seluruh kerajaan (kekuasaan), Engkau berikan kerajaan (kekuasaan) kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan (kekuasaan) dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkau-lah segala kebajikan. Sesungguh-nya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” [Qs. Ali ‘Imran (3): 26]

. Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– adalah Pengatur dan Penentu segala-gala-Nya, Raja dan Pemilik semuanya. Maha suci Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– dari segala sifat kekurangan dan kelemahan. Dan Maha suci Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– dari kesamaan dengan apa pun juga.

ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُ الأمْرَ

“…kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan.” [QS. Yunus (10): 3]

يُدَبِّرُ الأمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الأرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ

“Dia mengatur semua urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitungan kalian.” [Qs. as-Sajdah (32): 5]

سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يَصِفُونَ

“Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan.” [QS. al-An’aam (6): 100]

لَيْسَكَمِثْلِهِ شَيْءٌ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.” [Qs. asy-Syuuraa’ (42): 11]

. Tidak ada satu zat pun yang menyamai Allah (dalam rububiyyah-Nya), menandingi-Nya atau mendekati derajat-Nya. Barangsiapa yang ber-anggapan atau percaya bahwa ada zat lain yang mempunyai hak rubu-biyyah, baik seluruhnya atau sebagiannya, maka orang itu telah berbuat syirik kepada Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– dan telah menjadi orang musyrik yang kekal di Jahannam, walaupun berasal dari keluarga mus-lim, shalat atau berpuasa bahkan berjihad fi sabiilillah.

خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ بِالْحَقِّ تَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Dia menciptakan langit dan bumi dengan hak. Maha Tinggi Allah dari pada apa yang mereka persekutukan.” [QS. an-Nahl (16): 3]

BERITA TERKINI

Rabu sore kemarin (02/12), otoritas penjajah Zionis memberikan surat resmi kepada Kepala Badan Tertinggi Islam di Al-Quds, yang isinya melarang khatib masjid Al-Aqsha Syekh Ikrimah Shabri untuk masuk masjid Al-Aqsha selama 6 bulan ke depan.

Ketika Syekh Shabri baru saja pulang dari Saudi kemarin, otoritas Zionis langsung memanggilnya untuk diinterogasi. Karena kelelahan sebab baru saja pulang dari perjalanan jauh, Syekh Shabri sempat meminta pengacarnya Khalid Zabariqah untuk mengundur waktu ke hari lain untuk memenuhi panggilan Zionis itu.

Akan tetapi Zionis menolak untuk menunda dan mengancam akan menangkap Syekh Shabri jika tidak segera memenuhi panggilan otoritas Zionis. Oleh karena itu, Syekh Shabri terpaksa segera menuju ruang intelijen No. 4 yang berada di pusat penahanan dan penyelidikan "Compound" sebelah Barat Al-Quds, untuk menerima keputusan pelarangannya memasuki masjid Al-Aqsha.

Sebelumnya beberapa hari yang lalu, otoritas penjajah Zionis juga mengeluarkan beberapa keputusan yang menjauhkan hak pribadi, nasional, agama, dan lembaga-lembaga dari masjid Al-Aqsha. (Sn/ikh/myj)

eramuslim.com