SELAMAT DATANG

Selamat Datang di Situs sunankudus.blogspot.com, yang menyajikan Site Bernuansa Islami berisikan Hikmah Al-qur'an dan Mutiara Hadits, insya Allah dapat memberikan kesejukan hati dan ketentraman jiwa bagi anda yang mengunjungi Site ini. Membawa Anda kepada pemahaman Islam yang benar sesuai apa yang di bawa Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. semoga situs ini menjadi sumbangan dalam perjuangan islam. Pesan saya: Ikutilah Jalan Sirotulmustaqim dengan sungguh-sungguh. karena jalan otulah yag termudah menuju Allah dan syurga-Nya. Kurang dan lebihnya blog ini maafin yaa..saran dan kritik bisa kamu kirim ke santrisunny@yahoo.co.id. sukron katsiron telah mampir ke blog ini.. yang mau kirim tulisan silahkan email ke santrisunny@yahoo.co.id

Rabu, 29 Oktober 2008

Asma wa Sifat

Tauhid asma’ wa sifat adalah mengesakan Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– (dalam hal nama-nama dan sifat-sifat-Nya), yaitu keyakinan yang pasti bahwa Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– mempunyai nama-nama yang mulia dan sifat-sifat yang agung serta sempurna, yang tidak diiringi oleh suatu kekurangan, kelemahan atau keburukan, sebagaimana yang telah dika-barkan oleh Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– sendiri di dalam kitab-Nya dan oleh Rasulullah –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama– di dalam hadits-haditsnya.
اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ لَهُ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى

“Dialah Allah, tidak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai al-asmaaul husna (nama-nama yang baik).” [QS. Thaahaa (20): 8]

وَالَّذِينَ يُمَسِّكُونَ بِالْكِتَابِ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ إِنَّا لا نُضِيعُ أَجْرَ الْمُصْلِحِينَ

Hanya milik Alloh asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna itu dan tinggalakanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. [QS. al-A`raaf (7): 180]

. Nama-nama Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– tidak kita ketahui bilangan atau banyaknya. Sebab selain nama-nama yang Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– diajarkan kepada hamba-hamba-Nya, Allah pun memiliki nama-nama yang disembunyikan-Nya di ilmu ghaib di sisi-Nya.
Rasulullah –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama– bersabda:

(( أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ ))

“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan segala nama yang Engkau miliki, yang nama itu Engkau namakan sendiri, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang makhluk-Mu, atau Engkau sebutkan dalam Kitab-Mu, atau Engkau rahasikan dalam ilmu ghaib di sisi-Mu.” (HR. Ahmad No. 3528)

34. Nama-nama Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– adalah tauqifiyah, artinya bahwa nama-nama Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– sudah ditentukan oleh-Nya melalui al-Qur'an dan hadits-hadits Rasul-Nya –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama–. Tidak ada seorang pun yang berhak membuat nama baru untuk Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–, dengan ijtihadnya sendiri.

مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ أَمَرَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ


“Kalian tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kalian dan nenek moyang kalian membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kalian tidak me-nyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [QS. Yusuf (12): 40]

إِنْ هِيَ إِلا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الأنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى

“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kalian dan bapak-bapak kalian meng-ada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (me-nyembah)nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguh-nya telah datang petunjuk kepada mereka dari Robb mereka.” [QS. an-Najm ( 53): 23]

وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengeta-huan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua-nya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.” [QS. al-Israa’ (17): 36]

35. Salah satu kaidah umum dan dasar dalam aqidah Islamiyyah menyata-kan bahwa satu-satunya sumber aqidah Islamiyyah adalah wahyu dari Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– yang disampaikan oleh Rasul-Nya –Shal-lallahu ‘alayhi wa Sallama–, baik dalam al-Qur'an maupun dalam hadits-hadits Rasul-Nya –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama–.


Tidak ada sumber lain yang dapat dan boleh diterima. Kita wajib menerima dan mempercayai apa-apa yang ditetapkan oleh wahyu, dan apa-apa yang ditolak oleh wahyu, maka kita pun harus menolaknya. Sedangkan apa-apa yang tidak ditetapkan ataupun ditolak oleh wahyu, maka kita tidak masuk atau ikut campur ke dalamnya, baik dalam bentuk penerimaan atau pun pe-nolakan, bahkan memberitakannya pun tidak. Dalam masalah aqidah, wahyu berbentuk kabar berita, sedangkan dalam masalah ibadah wahyu berbentuk tuntutan (perintah atau larangan).

قُلْ لا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلا مَا يُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الأعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلا تَتَفَكَّرُونَ


“Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepada kalian, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang goib dan tidak (pula) aku mengatakan kepada kalian bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengi-kuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” QS. al-An’aam (6): 50

وَإِذَا لَمْ تَأْتِهِمْ بِآيَةٍ قَالُوا لَوْلا اجْتَبَيْتَهَا قُلْ إِنَّمَا أَتَّبِعُ مَا يُوحَى إِلَيَّ مِنْ رَبِّي هَذَا بَصَائِرُ مِنْ رَبِّكُمْ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

“Dan apabila kamu tidak membawa suatu ayat al-Qur’an kepada mereka, me-reka berkata: Mengapa tidak kamu buat sendiri ayat itu? Katakanlah: Sesung-guhnya aku hanya mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku.” QS. al-A’raaf (7): 203


وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُنَا بَيِّنَاتٍ قَالَ الَّذِينَ لا يَرْجُونَ لِقَاءَنَا ائْتِ بِقُرْآنٍ غَيْرِ هَذَا أَوْ بَدِّلْهُ قُلْ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أُبَدِّلَهُ مِنْ تِلْقَاءِ نَفْسِي إِنْ أَتَّبِعُ إِلا مَا يُوحَى إِلَيَ


“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: Datang-kanlah al-Qur’an yang lain dari ini atau gantilah dia. Katakanlah: Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” QS. Yunus (10): 15

36. Kaidah di atas berlaku bagi semua permasalahan aqidah, termasuk ma-salah asma’ wa shifat. Maka kaidah dalam asma’ wa shifat adalah:
1) Apa-apa yang Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– dan Rasul-Nya –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama– tetapkan bagi-Nya –Subhānahu wa Ta’ālā–, baik nama, sifat ataupun perbuatan, maka kita mempercayai dan menetapkan hal tersebut bagi-Nya, tanpa takyif, ta’thil, tasybih, dan tahrif.
2) Apa-apa yang Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– dan Rasul-Nya –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama– sangkal bagi-Nya, baik nama, sifat ataupun perbu-atan, maka kita pun menyangkalnya.
3) Apa-apa yang tidak tercantum dalam wahyu-Nya, baik penetapan atau penyangkalan, baik dalam nama, sifat atau pun perbuatan-Nya, maka kita tidak melibatkannya dalam aqidah kita, baik dalam bentuk pene-tapan (penerimaan) atau pun dalam bentuk penyangkalan (penolakan).

37. Ini adalah metode beragama yang benar, manhajnya Rasulullah –Shal-lallahu ‘alayhi wa Sallama– dan para sahabatnya, manhaj al-Qur’an dan as-Sunnah.

38. Setiap kata mempunyai tiga rukun, yaitu: lafadz, arti dan hakikat. Lafadz kata yang sama, bisa mempunyai arti yang sama dalam hal bahasa, te-tapi mempunyai hakikat yang berbeda, tergantung pada zat si empunya kata tersebut.


Contoh kata “kepala”, ketika kata “kepala” ini dihubungkan dengan dua pemilik yang berbeda, maka hakikatnya akan berbeda pula. Misalnya: kepala sekolah dan kepala macan. Lafadz kedua-duanya adalah k-e-p-a-l-a, dalam bahasa pun memiliki arti yang sama, yaitu zat yang diikuti oleh bagian yang lainnya. Tetapi hakikat keduanya berbeda jauh sekali. Contoh lainnya; kaki meja dan kaki sapi, muka bumi dan muka manusia, dan lainnya.

Dari sini kita mengetahui bahwa kesamaan lafadz dari suatu sifat, tidak harus menyamakan hakikat sifat tersebut, selama zat si empunya sifat berbeda. Apabila perbedaan hakikat tersebut nampak sekali terjadi di antara sesama mahkluk, maka perbedaan antara hakikat sifat Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– dan makhluk-Nya akan lebih sangat nampak sekali, bahkan lebih jelas dan lebih besar perbedaannya, walau pun lafadz sifat keduanya sama.

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [QS. asy Syuuraa’ (42): 11]

39. Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– memberitahukan kita tentang nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dan terkadang memberikan kepada makhluk-Nya beberapa nama dan sifat yang sama dengan nama dan sifat-sifat-Nya.
Dalam hal ini, yang sama hanyalah lafadz dan artinya saja, tetapi hakikat-nya tidaklah sama. Seperti nama Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– as-Sami’ dan al-Bashir, dalam surat al-Insaan: 76, Allah-pun memberi nama kepada manu-sia dengan nama yang sama, yaitu as-Sami’ dan al-Bashir.
Tetapi hakikat keduanya tidaklah sama, baik dalam kekekalan, keluasan, kekuatan dan ketajamannya, atau pun dari segi ke-bagaimana-annya dalam melihatnya dan dari segi-segi lainnya. Maka, kesamaan lafadz dalam nama dan sifat dengan dukungan dalil tidaklah berarti adanya kesamaan hakikat, dan tidak pula berarti arti kesyirikan.
Ahlus Sunnah menerima nama-nama dan sifat-sifat Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– sebagaimana yang dikabarkan oleh wahyu tanpa merubah-rubahnya, baik lafadz maupun artinya, sedangkan hakikat nama-nama dan sifat-sifat-Nya tersebut ada pada ilmu-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BERITA TERKINI

Rabu sore kemarin (02/12), otoritas penjajah Zionis memberikan surat resmi kepada Kepala Badan Tertinggi Islam di Al-Quds, yang isinya melarang khatib masjid Al-Aqsha Syekh Ikrimah Shabri untuk masuk masjid Al-Aqsha selama 6 bulan ke depan.

Ketika Syekh Shabri baru saja pulang dari Saudi kemarin, otoritas Zionis langsung memanggilnya untuk diinterogasi. Karena kelelahan sebab baru saja pulang dari perjalanan jauh, Syekh Shabri sempat meminta pengacarnya Khalid Zabariqah untuk mengundur waktu ke hari lain untuk memenuhi panggilan Zionis itu.

Akan tetapi Zionis menolak untuk menunda dan mengancam akan menangkap Syekh Shabri jika tidak segera memenuhi panggilan otoritas Zionis. Oleh karena itu, Syekh Shabri terpaksa segera menuju ruang intelijen No. 4 yang berada di pusat penahanan dan penyelidikan "Compound" sebelah Barat Al-Quds, untuk menerima keputusan pelarangannya memasuki masjid Al-Aqsha.

Sebelumnya beberapa hari yang lalu, otoritas penjajah Zionis juga mengeluarkan beberapa keputusan yang menjauhkan hak pribadi, nasional, agama, dan lembaga-lembaga dari masjid Al-Aqsha. (Sn/ikh/myj)

eramuslim.com