SELAMAT DATANG

Selamat Datang di Situs sunankudus.blogspot.com, yang menyajikan Site Bernuansa Islami berisikan Hikmah Al-qur'an dan Mutiara Hadits, insya Allah dapat memberikan kesejukan hati dan ketentraman jiwa bagi anda yang mengunjungi Site ini. Membawa Anda kepada pemahaman Islam yang benar sesuai apa yang di bawa Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. semoga situs ini menjadi sumbangan dalam perjuangan islam. Pesan saya: Ikutilah Jalan Sirotulmustaqim dengan sungguh-sungguh. karena jalan otulah yag termudah menuju Allah dan syurga-Nya. Kurang dan lebihnya blog ini maafin yaa..saran dan kritik bisa kamu kirim ke santrisunny@yahoo.co.id. sukron katsiron telah mampir ke blog ini.. yang mau kirim tulisan silahkan email ke santrisunny@yahoo.co.id

Rabu, 29 Oktober 2008

asma wa sifat 2

40. Semua nama-nama Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– adalah al-asma’ al-husna’ (nama yang baik). Tidak ada dalam nama-nama-Nya kandungan keburukan sedikit pun.

Oleh karena itu, kita diperintahkan untuk beribadah dan berdoa dengan al-asma’ al-husna’ tersebut. Maka sebagai orang-orang yang beriman, kita ber-kewajiban untuk mempelajari nama-nama dan sifat-sifat-Nya tersebut.

41. Takyif; berasal dari kata kaif, yang dalam bahasa Arab berarti “bagai-mana”. Arti takyif dalam pembahasan ini adalah “penentuan ke-bagai-mana-an” hakikat sifat-sifat Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–, seperti me-nentukan bagaimana hakikat yang sebenarnya dari wajah Allah, bagai-manakah Allah bersemayam di atas Arsy-Nya, bagaimanakah Allah mendengar dan melihat, dan lain sebagainya.

Kaidah penting dalam manhaj Ahlus Sunnah wal jama’ah yang dicetus-kan oleh Imam Malik –Rahimahullah– adalah:

( اَلإِسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ، وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ، وَالإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ )

“al-Istiwa (bersemayamnya Allah) dapat dipahami artinya, hakikat (ke-bagaimana-annya) tidak diketahui, mengimaninya wajib dan bertanya tentang hakikatnya adalah bid’ah.”[1]

Jadi arti dari sifat-sifat sangatlah jelas, adapun hakikatnya, maka tidak kita ketahui (karena Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– tidak menjelaskannya kepada kita). Menentukan hakikat sifat-Nya berdasarkan khayalan manusia, atau hasil pemikiran akal manusia, adalah takyif. Jangankan menentukan hakikatnya, menanyakan bagaimana hakikatnya saja sudah termasuk bid’ah.
42. Tasybih, artinya menyerupakan Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– dengan makhluk-Nya. Seperti mengatakan bahwa hakikat mata Allah –Subhā-nahu wa Ta’ālā– seperti mata manusia, kemarahan Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– seperti kemarahan manusia, rahmat Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–seperti rahmat manusia, dan sebagainya. Tasybih merupakan bentuk kesyirikan yang nyata.
43. Tahrif, artinya pengubahan arti dari sifat-sifat Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–, baik dengan merubah huruf-hurufnya atau menolak arti yang benar.
Seperti mengubah kata al-istiwa’ yang berarti bersemayam dengan kata al-istaula’ yang berarti menguasai. Biasanya penggantian seperti ini dilakukan oleh ahlul bid’ah, dengan alasan bahwa penggantian atau pengubahan itu adalah suatu keharusan, karena kalau tidak dirubah, maka akan terjadi tasybih.
Pemahaman seperti ini ditolak oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan hujjah-hujjah sebagai berikut:
1) Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– lebih tahu dan lebih pandai menjelaskan tentang diri-Nya, dan tidakbutuh kepada makhluk-Nya untuk meru-bah kata-katanya supaya menjadi lebih tepat.
2) Seperti sudah dijelaskan, bahwa kesamaan lafadz sifat tidak berarti tasybih, sebab hakikat dari sifat-sifat itu berbeda antara satu dengan yang lainnya, menurut perbedaan zat si empunya sifat.
3) Kalau benar bahwa tidak adanya pengubahan akan menghasilkan tasy-bih, bagaimana dengan kata-kata atau sifat-sifat yang baru yang dijadi-kan pengganti, tidakkah padanya juga akan terjaditasybih?
44. Ta’thil, dalam bahasa Arab berarti meniadakan sesuatu atau meniada-kan fungsinya. Sedangkan secara istilah, ta’thil berarti menolak (meni-adakan) sebagian atau semua sifat-sifat Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– atau mengosongkannya dari artinya.

Hal ini dilakukan oleh ahlul bid’ah juga dikarenakan kekhawatiran mereka akan terjadinya tasybih. Sehingga mereka dengan berani keluar dari ketentuan-ketentuan yang telah digariskan al-Kitab dan as-Sunnah, dan keluar dari akal yang sehat.

Contohnya, mereka menetapkan nama Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– tetapi mengosongkan atau meniadakan-Nya dari sifat, seperti mengatakan bahwa Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– adalah ar-Rahim, tetapi tidak memiliki sifat rahmat, Allah adalah as-Sami’ tanpa sam’ (pendengaran) dan lainnya. Meniadakan sifat sebenarnya berarti meniadakan zat. Sebab tidak ada zat yang tidak memi-liki sifat. Hanya sesuatu yang tidak ada sajalah yang tidak memiliki sifat.
45. Tauhid uluhiyyah adalah mempersembahkan seluruh peribadatan hanya kepada Allah –Subhānahuwa Ta’ālā–. Dengan kata lain, adalah penge-saan Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– dalam peribadatan.Tauhid uluhiyyah disebut juga tauhid ilahiyah atau tauhid ‘ubudiyyah.

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rosul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak) melainkan Aku, maka beribadahlah kalian hanya kepada-ku.”QS. al-Anbiyaa (21): 25

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah hanya kepada-ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki mereka memberi Aku makan.” (QS. adz-Dzaariyaat (51): 56-57)
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
"Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.”QS. an-Nisaa’ (4):36
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Alloh dengan mengikhlaskan agama (Peribadatan) hanya untuk-Nya dan menjadi orang-orang yang lurus (Bertauhid)". (QS. Al Bayyinah (98): 5)
46. Kaidah di atas berlaku bagi semua permasalahan aqidah, termasuk ma-salah asma’ wa shifat. Maka kaidah dalam asma’ wa shifat adalah:
1) Apa-apa yang Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– dan Rasul-Nya –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama–tetapkan bagi-Nya –Subhānahu wa Ta’ālā–, baik nama, sifat ataupun perbuatan, maka kita mempercayai dan menetapkan hal tersebut bagi-Nya, tanpa takyif, ta’thil, tasybih, dan tahrif.
2) Apa-apa yang Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– dan Rasul-Nya –Shallallahu ‘alayhi wa Sallama–sangkal bagi-Nya, baik nama, sifat ataupun perbu-atan, maka kita pun menyangkalnya.
3) Apa-apa yang tidak tercantum dalam wahyu-Nya, baik penetapan atau penyangkalan, baik dalam nama, sifat atau pun perbuatan-Nya, maka kita tidak melibatkannya dalam aqidah kita, baik dalam bentuk pene-tapan (penerimaan) atau pun dalam bentuk penyangkalan (penolakan).
47. Ini adalah metode beragama yang benar, manhajnya Rasulullah –Shal-lallahu ‘alayhi wa Sallama–dan para sahabatnya, manhaj al-Qur’an dan as-Sunnah.
48. Setiap kata mempunyai tiga rukun, yaitu: lafadz, arti dan hakikat. Lafadz kata yang sama, bisa mempunyai arti yang sama dalam hal bahasa, te-tapi mempunyai hakikat yang berbeda, tergantung pada zat si empunya kata tersebut.
Contoh kata “kepala”, ketika kata “kepala” ini dihubungkan dengan dua pemilik yang berbeda, makahakikatnya akan berbeda pula. Misalnya: kepala sekolah dan kepala macan. Lafadz kedua-duanyaadalah k-e-p-a-l-a, dalam bahasa pun memiliki arti yang sama, yaitu zat yang diikuti oleh bagian yanglainnya. Tetapi hakikat keduanya berbeda jauh sekali. Contoh lainnya; kaki meja dan kaki sapi, muka bumi dan muka manusia, dan lainnya.
Dari sini kita mengetahui bahwa kesamaan lafadz dari suatu sifat, tidak harus menyamakan hakikat sifat tersebut, selama zat si empunya sifat berbeda. Apabila perbedaan hakikat tersebut nampak sekali terjadi di antara sesama mahkluk, maka perbedaan antara hakikat sifat Allah –Subhānahu wa Ta’ālā–dan makhluk-Nya akan lebih sangat nampak sekali, bahkan lebih jelas dan lebih besar perbedaannya, walau pun lafadz sifat keduanya sama.
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [QS. asy Syuuraa’ (42): 11]
49. Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– memberitahukan kita tentang nama-nama dan sifat-sifat-Nya, danterkadang memberikan kepada makhluk-Nya beberapa nama dan sifat yang sama dengan nama dan sifat-sifat-Nya.

Dalam hal ini, yang sama hanyalah lafadz dan artinya saja, tetapi hakikat-nya tidaklah sama. Seperti nama Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– as-Sami’ dan al-Bashir, dalam surat al-Insaan: 76, Allah-punmemberi nama kepada manu-sia dengan nama yang sama, yaitu as-Sami’ dan al-Bashir.
Tetapi hakikat keduanya tidaklah sama, baik dalam kekekalan, keluasan, kekuatan danketajamannya, atau pun dari segi ke-bagaimana-annya dalam melihatnya dan dari segi-segi lainnya. Maka, kesamaan lafadz dalam nama dan sifat dengan dukungan dalil tidaklah berarti adanya kesamaan hakikat, dan tidak pula berarti arti kesyirikan.
Ahlus Sunnah menerima nama-nama dan sifat-sifat Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– sebagaimana yang dikabarkan oleh wahyu tanpa merubah-rubahnya, baik lafadz maupun artinya, sedangkan hakikat nama-nama dan sifat-sifat-Nya tersebut ada pada ilmu-Nya.

50. Semua nama-nama Allah –Subhānahu wa Ta’ālā– adalah al-asma’ al-husna’ (nama yang baik). Tidakada dalam nama-nama-Nya kandungan keburukan sedikit pun.
Oleh karena itu, kita diperintahkan untuk beribadah dan berdoa dengan al-asma’ al-husna’ tersebut. Maka sebagai orang-orang yang beriman, kita ber-kewajiban untuk mempelajari nama-nama dan sifat-sifat-Nya tersebut.
[1] al-`Uluw hal.141-142; Hilyah al-Auliya 6/325-326 dan Fath al-Bari 13/406.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BERITA TERKINI

Rabu sore kemarin (02/12), otoritas penjajah Zionis memberikan surat resmi kepada Kepala Badan Tertinggi Islam di Al-Quds, yang isinya melarang khatib masjid Al-Aqsha Syekh Ikrimah Shabri untuk masuk masjid Al-Aqsha selama 6 bulan ke depan.

Ketika Syekh Shabri baru saja pulang dari Saudi kemarin, otoritas Zionis langsung memanggilnya untuk diinterogasi. Karena kelelahan sebab baru saja pulang dari perjalanan jauh, Syekh Shabri sempat meminta pengacarnya Khalid Zabariqah untuk mengundur waktu ke hari lain untuk memenuhi panggilan Zionis itu.

Akan tetapi Zionis menolak untuk menunda dan mengancam akan menangkap Syekh Shabri jika tidak segera memenuhi panggilan otoritas Zionis. Oleh karena itu, Syekh Shabri terpaksa segera menuju ruang intelijen No. 4 yang berada di pusat penahanan dan penyelidikan "Compound" sebelah Barat Al-Quds, untuk menerima keputusan pelarangannya memasuki masjid Al-Aqsha.

Sebelumnya beberapa hari yang lalu, otoritas penjajah Zionis juga mengeluarkan beberapa keputusan yang menjauhkan hak pribadi, nasional, agama, dan lembaga-lembaga dari masjid Al-Aqsha. (Sn/ikh/myj)

eramuslim.com